Kamis, 01 November 2018

B181710111

Nama: Rico Renaldi
NIM: 181710111
Kelas: B

Data/Identitas film

Judul film: Nyai Ahmad Dahlan (2017)
Sutradara: Olla Atta Adonara
Produser: Dyah Kalsitorini Widyastuti
Penulis: Dyah Kalsitorini
Pemeran:
-Tika Bravani
-David Chalik
-Cok Simbara
-Della Puspita
-Rara Nawangsih
-Egi Fedly
-Inne Azri
-Malvino Fajaro

Isi

   Film settingan tahun 1890 yang saat itu Siti Walidah berusia masih bocah 12 tahun. Walaupun perempuan, ia termasuk anak yang beruntung dalam mengenyam pendidikan. Ayahnya Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta yang mengajarkan mengaji serta pengetahuan umum lainnya dengan tidak membedakan murid laki-laki dan perempuan. Semua berhak mendapatkan pelajaran tanpa ada perbedaan jender, karena itu adalah perintah agama.
   Pada masa itu budaya patriaki begitu kuat. Perempuan hanya sekadar teman di belakang yang berurusan dengan dapur, sumur, dan kasur. Kaum lelaki tidak mau direbut posisinya yang begitu mapan, maka dari itu suatu hal yang wajar bahwa anak perempuan tidaklah penting menjadi pintar. Walidah dibesarkan dalam lingkungan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Ia termasuk anak yang cerdas dan penghafal Alquran.
   Setelah cukup umur Siti Walidah dijodohkan dengan Muhammad Darwis yang setelah belajar dari Mekkah mengubah nama menjadi Ahmad Dahlan. Mereka pun menikah untuk membangun rumah tangga. Selepas belajar dari Mekkah Kyai Ahmad Dahlan yang banyak mempelajari pembaharuan melihat kondisi umat Islam harus dibenahi dari keterbelakangan. Umat Islam banyak yang bodoh dan miskin dan itu yang harus "diperangi" dan dicarikan solusi. Selain itu untuk melawan dominasi pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan cara yang modern yaitu organisasi.
   Kyai Ahmad Dahlan bertekad dengan mendirikan sekolah dan organisasi. Dan ini tidaklah mudah terutama yang berkenaan dengan biaya. Tekad suami yang begitu kuat dan kemudian mentok, disinilah peranan penting dari pendamping yaitu istri. Nyai Dahlan pun tahu apa yang harus diperbuat, ia serahkan perhiasan warisan dari orangtuanya untuk diberikan kepada suaminya.
Kyai Dahlan pun menolak langkah istrinya itu karena harta warisan dan juga untuk masa depan anak-anaknya. Nyai Dahlan pun menenangkannya bahwa ia nantinya akan menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa bapaknya memerlukan harta untuk membangun cita-cita umat. Nyai Dahlan pun memberi penguat kepada Kyai Dahlan dengan menggunakan bahasa agama. Bahwa perjuangan itu tidaklah mudah, kain kafan itu tidaklah bersaku sedangkan harta adalah titipan belaka.
   Dengan tekad dan dukungan Nyai Dahlan akhirnya Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912. Perjuangan dalam ber-Muhammadiyah begitu berat, dalam berdakwah karena mengusung pembaharuan langkah Kyai Dahlan banyak mendapat tantangan dari umat Islam sendiri bahkan sampai dikatakan kafir. Dalam dakwah ke Banyuwangi mendapatan pertentangan keras penduduk setempat, Nyai Dahlan pun turut menyertai perjuangan suaminya itu.
   Nyai Dahlan berbagi peran dalam upaya mengangkat umat agar berilmu pengetahuan terutama kalangan perempuan. Anak perempuan dan juga para ibu diajaknya untuk mengaji, para pekerja batik pun demikian. Yang pada akhirnya para "majikannya" pun berkeinginan jadi pandai yang tidak mau kalah dengan pekerjanya. Diupayakan juga diadakan perkumpulan dikalangan perempuan yang diberi nama Sopo Tresno. Lambat laun kemudian berkembang pesat yang akhirnya ditingkatkan lagi menjadi organisasi yang diberi nama Aisyiyah pada 19 Mei 1917.
   Pada 23 Februari 1923 Kyai Ahmad Dahlan wafat. Sepeninggal suaminya itu Nyai Dahlan konsisten meneruskan langkah dalam upaya memandaikan umat. Melalui Aisyiyah, Nyai Dahlan mendirikan beberapa sekolah putri dan asrama. Penyadaran bahwa kaum perempuan mempunyai andil dalam kehidupan di muka bumi ini. Nyai Dahlan merupakan perempuan pertama yang memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 tahun 1926 di Surabaya. Tidak itu saja pada zaman pergerakan dalam melawan kolonial Belanda terlebih pada masa pendudukan Jepang, peranan Nyai Dahlan tidaklah kecil.
   Ia mendorong agar kaum perempuan terlibat aktif dalam pergerakan menuju kemerdekaan bangsa Indonesia. Para pejuang laki-laki berjuang pada front depan, sedangkan perempuan pada front belakang. Yaitu dengan mengadakan dapur umum, penyediaan obat-obatan, perawatan, serta menciptakan rasa aman di lingkungan sekitar. Sudirman yang dikemudian hari menjadi panglima besar juga berkoordinasi dengan Nyai Dahlan dalam dalam bahu-membahu memperjuangkan kemerdekaan.
   Tika Bravani cukup total dalam melakoni sebagai Nyai Ahad Dahlan ini. Mulai dari peran sebagai masih gadis sampai Nyai Dahlan pada usia lanjut. Kehadiran film ini cukup membantu dalam membangkitkan memori kisah kepahlawanan bangsa yang kadang mulai terlupakan. Melalui karya seni ini diharapkan dapat mempelajari sejarah sekaligus memperoleh hiburan yang tidak sekedar tontonan tetapi juga tuntunan. Di beberapa adegan ditampilkan persoalan baik keseharian sampai rumah tangga yang solusinya sudah tersurat di kitab suci ataupun contoh yang pernah dilakukan Rasulullah.
   Nyai Ahad Dahlan masih diberi umur sampai Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dikumandangkan. Ia begitu bahagia akhirnya kemerdekaan dapat diraih oleh bangsa sendiri. Pada masa kolonial tidak begitu peduli kepada pendidikan bumi putera, yang akhirnya ruang kosong itu di isi oleh Muhammadiyah, Aisyiyah, Taman Siswa serta pergerakan pendidikan lainnya. Dengan berdirinya negara sendiri itulah nantinya akan menjadi tugas negara. Para pendiri negara (founding father) sudah merumuskan cita-cita luhur untuk apa negara ini harus ada dan merdeka.

Kelebihan film

Penggarapannya detail, termasuk didahului riset sejarah sebelumnya. Pakaian, bangunan dan ornamen lainnya dibuat khusus untuk film ini sehingga kemiripan dengan kondisi dan situasi abad ke-19 sangat mendekati. Meski tidak ada pemain yang bersuku Jawa, namun adat-istiadat Jawa yang mewarnai keseluruhan film cukup tertata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar