Minggu, 02 April 2017

(ANGGI FEBRI SAPUTRI DAN FITRIA FEBRIWANTI - 03) PENJELASAN DUHAM (DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA) PASAL 16

DUHAM PASAL 16

1.      Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.

2.      Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.

3.      Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara.

 

PENJELASAN :

Ayat pertama, laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa atau baliq yang sudah siap secara lahir dan batin dan tanpa batasan apapun menurut ras, status kewarganegaraan di dalam negeri atau diluar negeri ataupun perbedaan agama. Mereka memiliki hak untuk menikah dan membentuk sebuah keluarga. Dan mereka mempunyai hak yang sama pada saat pernikah, selama pernikahan maupun pada saat bercerai.

Ayat kedua, perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pilihan yang bebas sesuai dengan sukarela dan kesepakatan dari kedua mempelai tanpa ada paksaan atau keterpaksaan sedikitpun.

Ayat ketiga, keluarga merupakan suatu unit kelompok masyarakat yang alami dan mendasar, dan berhak atas perlindungan dari masyarakat maupun Negara tempat tinggalnya.

Pasal 16 DUHAM ini memberikan aturan tegas mengenai kebebasan untuk menikah dan membentuk keluarga yang merupakan suatu hak yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan tanpa dibatasi perbedaan. Pasal ini juga lebih menekankan pada jaminan dan perlindungan atas pasangan menikah berdasarkan usia yang secara mental mampu untuk melakukan perikatan perkawinan secara bebas dan penuh.

Tujuannya jelas agar pasangan yang menikah benar-benar secara mental dan sosial dapat melakukan perbuatan hukum dan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Dengan demikian secara normatif makna hak untuk melakukan perikatan yang bebas dan penuh dalam perkawinan adalah terutama dalam pengertian kapasitas mental dari masing-masing pasangan untuk menjamin pasangan dalam perkawinan memiliki kecakapan hukum (legal capacity) untuk melakukan perbuatan hukum sehingga dapat membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Dalam pengertian lain, hak untuk melakukan perikatan secara bebas dan penuh dalam perkawinan bukan dimaksud dalam pengertian kebebasan secara individu untuk melakukan perkawinan sesuai dengan agama masing-masing mempelai.

Dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui pernikahan merupakan hak prerogative pasangan calon suami istri yang sudah dewasa. Kewajiban Negara adalah melindungi,mencatat dan menerbitkan akte perkawinannya. Namun sayangnya realitas ini tidak cukup disadari oleh Negara. Permasalahan yang sering kita ketahui yang berhubungan dengan pasal ini salah satunya adalah perkawinan beda agama di Indonesia.

Pelaksanaan Undang-Undang tentang Perkawinan yang memberikan pembatasan terhadap agama dan kepercayaan yang dianut. Ketentuan tersebut secara nyata memberikan pembatasan berdasarkan agama terhadap kebebasan dan hak untuk menikah terhadap laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa.

Pembatasan yang diberikan Negara Indonesia terhadap hak dan kebebasan dalam pernikahan yang sangat bertentangan dengan ketentuan yang sudah diatur dalam DUHAM yang telah diratifikasi serta dalam UUD 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia. Latar belakang pembentukan Undang-Undang tentang Perkawinan yang melibatkan berbagai unsur penting, antara lain unsur pemerintah dan unsur agama, menyebabkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya menjadi bersifat memihak terhadap golongan mayoritas.

Kaidah dalam HAM, tidak mungkin dapat ditegakkan pelaksanaannya tanpa adanya hukum positif yang mengatur hak tersebut. Walaupum kaidah HAM membenarkan perkawinan antar agama, tetapi jika pemerintah menolak melakukan pencatatan maka kaidah HAM itu akan kehilangan makna. Oleh karena itu, meskipun pemerintah atau Negara tidak melarang perkawinan campuran antar agama, namun pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi tersebut melalui lembaga pencatatan nikah. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesan bahwa pemerintah Negara seharusnya tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang yang sama agamanya, karena perkawinan beda agama itu pun merupakan bagian dari kebebasan memilih calon suami atau istri. Perkawinan beda agama adalah merupakan implikasi dari realitas kemajemukan agama,etnis,suku,ras yang ada di Indonesia. Sehingga jika terjadi pelanggaran perkawinan beda agama, maka hal tersebut sama saja dengan mengingkari realitas kemajemukkan tadi. Memaksa seseorang untuk memilih agama, yang semata-mata hanya untuk kepentingan unifikasi hukum dan administrasi pemerintahan.

Oleh karena itu, bila di Indonesia terjadi penolakan perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaan maupun pencatatannya, maka dalam spespektif HAM, hal tersebut jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak seseorang.

Pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghormati,melindungi, dan menegakkan HAM yang di miliki oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa ada batasan dan diskriminasi. Pemerintah tidak mempunyai dibenarkan mengintervensi kebebasan beragama ke dalam hukum nasional yang salah satunya adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tentang perkawinan.

Wacana dan kasus yang semakin berkembang tentang pembatasan pernikahan beda agama di Indonesia pada akhirnya nanti dapat dimungkinkan akan menjadi sorotan masyarakat internasional tentang terjadinya kembali pelanggaran HAM di Indonesia, mengingat semakin banyaknya pasangan beda agama yang melangsungkan pernikahannya di luar negeri hanya untuk memperoleh pengakuan hukum yang sah.

Berdasarkan uraian diatas, Indonesia hendaknya melakukan pengkajian ulang terhadap penerapan Undang-Undang tentang Perkawinan yang masih berlaku sampai saat ini serta mencabut undang-undang tersebut dan menggantinya dengan undang-undang yang baru sesuai dengan ketentuan UUD 1945, DUHAM, dan Undang-Undang tentang HAM tanpa ada intervensi dari golongan mayoritas atau golongan penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar