Jumat, 02 November 2018

02181310021 - Sultan Hamid II, Perancang Lambang Negara Republik Indonesia.

DESKRIPSI

Sultan Hamid II lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, merupakan putra daerah Kalimantan Barat, anak dari Sultan Pontianak Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan Syecha Jamilah Syarwani, lahir pada tanggal 12 Juli 1913 di Pontianak meninggal di Jakarta30 Maret 1978 pada umur 64 tahun. Sultan Hamid II dibesarkan di lingkungan Kesultanan Kadariah yang terletak di kelurahan dalam Bugis, kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak. Sultan Hamid II menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dan selama jabatan menteri negara itu pula dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara, dengan tangan dingin nya beliau berhasil merancang Garuda Pancasila yang sampai sekarang menjadi lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sultan Hamid II di anggap pengkhianat karena dituduh terlibat dalam Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) atau Kudeta Westerling yang di pimpin oleh  mantan Kapten KNIL Raymond Westerling. Sultan Hamid II dinyatakan bersalah serta dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun.


PEMBAHASAN



PEMBAHASAN

Sultan Hamid II lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak ke-6 Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan Syecha Jamilah Syarwani. Ia adalah perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab Indonesia. Syarif Hamid al-Qadri, lahir pada tanggal 12 Juli 1913 di Pontianak meninggal di Jakarta30 Maret 1978 pada umur 64 tahun. Sampai usia 12 tahun, Hamid dibesarkan oleh ibu angkat asal SkotlandiaSalome Catherine Fox dan rekan ekspatriatnya asal Inggris Edith Maud Curteis. Salome Fox adalah adik dari kepala sebuah firma perdagangan Inggris yang berbasis di Singapura. Di bawah asuhan mereka, Hamid menjadi fasih berbahasa Inggris. Sultan Hamid II dibesarkan di lingkungan Kesultanan Kadariah yang terletak di kelurahan dalam Bugis, kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak. Sultan Syarif Muhamad Alkadrie memiliki 10 orang istri dan dikaruniai 13 orang putra. Saat remaja ia menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta dan Bandung. ELS adalah singkatan dari Europeesche Lagere School yang setara dengan tingkatan Sekolah Dasar. Karena Sultan Hamid adalah anak dari Sultan Pontianak, jadi dia boleh menuntut ilmu di ELS. Karena hanya orang Belanda, Eropa dan elit pribumi yang boleh sekolah di ELS.

Setelah menuntut ilmu di ELS, dia melanjutkan sekolahnya di HBS (Hoogere Burgerschool) atau pendidikan menengah umum pada zaman pendudukan Belanda yang juga dikhususkan bagi orang Belanda dan bahasa pengantar di HBS menggunakan bahasa Belanda. Setelah menyelesaikan pendidikannya di HBS ia melanjutkan pendidikannya di Bandung, tepatnya di THB (Technische Hoogeschool Te Bandoeng) atau yang sekarang kita kenal dengan ITB (Institut Teknologi Bandung). Namun sayangnya hanya berjalan satu tahun dan tidak sampai selesai. Selanjutnya ia pergi ke Breda, Belanda untuk belajar militer di KMA (Koninkklije Militaire Academia). Setelah lulus dari KMA ia diangkat menjadi Kesatuan Tentara Hindia Belanda. Pada tahun 1983 dia berpangkat letnan dua dan dalam karier kemiliterannya pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lainnya di pulau Jawa. Pada tahun 1939 ia diangkat menjadi Letnan satu dan pada saat perang dunia dimulai tahun 1941, ia ikut bertempur melawan Jepang di Balikpapan.


MASA PENDUDUKAN JEPANG

            Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Pangkat itu bisa dikatakan sebagai pangkat tertinggi yang saat itu diberikan kepada putera Indonesia. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Jelas pengangkatannya ini adalah kemauan sebagian besar rakyat Kalbar yang tak ingin adanya kekosongan jabatan dalam pemerintahan kesultanan.

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan MalinoDenpasarBFOBFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

MENTERI ZONDER PORTOFOLIO

Pada tanggal 17 Desember 1949, Sultan Hamid II diangkat oleh Soekarno ke Kabinet RIS tetapi tanpa adanya portofolio. Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan termasuk 11 anggota berhaluan Republik dan lima anggota berhaluan Federal. Pemerintahan federal ini berumur pendek karena perbedaan pendapat dan kepentingan yang bertentangan antara golongan Unitaris dan Federalis serta berkembangnya dukungan rakyat untuk adanya negara kesatuan.

PERUMUSAN LAMBANG NEGARA

Saat Sultan Hamid II menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dan selama jabatan menteri negara itu pula dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar DewantoroM. A. PellaupessyMohammad Natsir, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, berbentuk Garuda tradisional yang bertubuh manusia

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyonomelaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.


Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita.


Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara Sultan Hamid II, Soekarno, dan Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".

Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologisSultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk rajawali yang menjadi Garuda Pancasiladan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta sebagai perdana menteri.

AG Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila terbitan Departemen Pertahanan dan KeamananPusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan "'tidak berjambul"' seperti bentuk sekarang ini.

Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des IndesJakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang "gundul" menjadi "berjambul" dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istanaDullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Adalah lambang yang dia buat, pada tahun 2016 telah sah diakui sebagai Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional pada 26 Agustus 2016. Penetapan tersebut ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendi dengan Surat Keputusan (SK) Nomor 204 Tahun 2016. Namun pada hari Senin, 24 September 2018, Ketum Yayasan Sultan Hamid II, yakni Anshari Dimyati —yang diutus Max Jusuf Alkadrie, Ketua Dewan Pembina Yayasan SH II— , yang menerima plakat/sertifikat Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional untuk Lambang Negara karya Sultan Hamid II ini. Penyerahan ini dilakukan oleh Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Triana Wulandari, mewakili Mendikbud Muhadjir Effendy.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Istana KadriyahPontianak.

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (tahun 1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan "ide perisai Pancasila" muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.


PERISTIWA KUDETA WESTERLING

Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah"Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.

Jasa Sultan Hamid dalam merancang lambang negara Indonesia, burung Garuda Pancasila, seperti dilupakan begitu saja setelah dia diadili dan dihukum 10 tahun penjara terkait rencana kudeta oleh kelompok eks KNIL pimpinan Kapten Westerling pada 1950. Pada 22 Januari 1950, sekitar 800 orang pasukan KNIL pimpinan Westerling menduduki sejumlah tempat penting di Bandung, setelah menghabisi 60 orang tentara RIS. Mereka kemudian berhasil diusir dari Bandung. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.

 Di Jakarta, empat hari kemudian, pasukan Westerling hendak melanjutkan kudeta, tetapi berhasil digagalkan karena lebih dulu bocor. Disebutkan, pasukannya berencana membunuh beberapa tokoh Republik, termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX. Dalam buku Nationalism dan Revolution in Indonesia (1952), George Mc Turnan Kahin, menulis setelah upaya kudeta itu digagalkan, temuan pemerintah RIS menyimpulkan Sultan Hamid "telah mendalangi seluruh kejadian tersebut, dengan Westerling bertindak sebagai senjata militernya."

Rencana pembunuhan ini gagal. Westerling kemudian melarikan diri. Sementara Sultan Hamid II berhasil ditangkap di Hotel Des Indes beberapa waktu kemudian.

Rencana membunuh Sultan HB IX adalah akhir petualangan Westerling di Indonesia. Dia kemudian dilarikan dengan pesawat Angkatan Laut Belanda ke Singapura, lalu ke Eropa dan akhirnya sampai ke Belanda.

UPAYA KUDETA WESTERLING ATAU PERISTIWA KUDETA ANGKATANG PERANG RATU ADIL (APPR)

Jasa Sultan Hamid dalam merancang lambang negara Indonesia, burung Garuda Pancasila, seperti dilupakan begitu saja setelah dia diadili dan dihukum 10 tahun penjara terkait rencana kudeta oleh kelompok eks KNIL pimpinan Kapten Westerling pada 1950. Pada 22 Januari 1950, sekitar 800 orang pasukan KNIL pimpinan Westerling menduduki sejumlah tempat penting di Bandung, setelah menghabisi 60 orang tentara RIS. Mereka kemudian berhasil diusir dari Bandung. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.

Di Jakarta, empat hari kemudian, pasukan Westerling hendak melanjutkan kudeta, tetapi berhasil digagalkan karena lebih dulu bocor. Disebutkan, pasukannya berencana membunuh beberapa tokoh Republik, termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX. Dalam buku Nationalism dan Revolution in Indonesia (1952), George Mc Turnan Kahin, menulis setelah upaya kudeta itu digagalkan, temuan pemerintah RIS menyimpulkan Sultan Hamid "telah mendalangi seluruh kejadian tersebut, dengan Westerling bertindak sebagai senjata militernya."

Walaupun membantah terlibat dalam kasus itu, pengadilan menyatakan dirinya bersalah. Kemudian dia dihukum penjara sepuluh tahun.

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

BUKAN "DALANG" KUDETA WESTERLING

Setelah reformasi bergulir, sejumlah intelektual muda Kota Pontianak, Kalimantan Barat -tempat kelahiran Sultan Hamid II- menggugat yang mereka sebut sebagai kebohongan sejarah. Anshari Dimyati, yang juga Ketua Yayasan Sultan Hamid II, melalui penelitian tesis master di Universitas Indonesia, menyimpulkan Ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ini tidak bersalah dalam peristiwa Westerling awal 1950.

Sultan Hamid II memang mempunyai niat untuk melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS itu, tapi tidak jadi dilakukan dan penyerangan pun tidak terjadi. Itu yang harus diluruskan.Anshari Dimyati, Ketua Yayasan Sultan Hamid II

"Sultan Hamid II memang mempunyai niat untuk melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS, tapi tidak jadi dilakukan dan penyerangan pun tidak terjadi. Itu yang harus diluruskan," kata Anshari Dimyati, Selasa (02/06). Hasil temuan Anshari juga menyimpulkan, bahwa perwira lulusan Akademi militer Belanda itu bukan "dalang" peristiwa APRA di Bandung awal 1950.

"Dia bukan orang yang memotori atau bukan orang di belakang penyerangan Westerling atas Divisi Siliwangi di Bandung," katanya. Menurutnya, peradilan tidak dapat membuktikan dugaan keterlibatan Sultan Hamid dalam kasus itu.

"Dia didakwa telah bersalah oleh opini dan statement media massa yang memberitakan tentang kasus ini... peradilan di Indonesia kala itu sangat dipengaruhi oleh faktor politik," jelas Anshari.



PENUTUP

Simpulan

Sultan Hamid II putra daerah Kalimantan Barat, yang berperan penting dalam perancangan lambang negara Republik Indonesia, setelah melalui banyak penyempurnaan perancangan Sultan Hamid dan Muhammad Hatta sepakat untuk mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika"Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologisSultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk rajawali yang menjadi Garuda Pancasiladan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta sebagai perdana menteri.

Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des IndesJakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang "gundul" menjadi "berjambul" dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana untuk melukis lambang negara.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Istana KadriyahPontianak. Namun sayangnya, Sultran Hamid II di anggap sebagai pengkhianat karena di tuduh ikut terlibat dalam Upaya Kudeta Westerling atau Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APPR), namun sejumlah intelektual muda Kota Pontianak Kalimantan Barat -tempat kelahiran Sultan Hamid II- menggugat yang mereka sebut sebagai kebohongan sejarah. Jasanya atas perancangan lambang negara seakan tak berarti atas tuduhan atas kudeta ini, karena tuduhan ini Sultan Hamid di nyatakan bersalah meskipun telah membantah dan di jatuhi hukuman penjara selama 10 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.


DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Syarif_Hamid_II_dari_Pontianak

https://www.kaskus.co.id/thread/5933ee7ac1d77060228b4571/sultan-hamid-ii-perancang-lambang-garuda-pancasila/

https://tirto.id/m/syarif-abdul-hamid-alkadrie-pF

https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/06/150610_majalah_perancang_garuda 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar