Jumat, 02 November 2018

B181710097-TUGAS RESENSI BUKU DAN FILM

TUGAS 1 : RESENSI BUKU PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN

 

I.Identitas Buku

Judul Buku           :Panglima Besar JENDERAL SOEDIRMAN

Editor                   :Amrin Imran

Penerbit Buku      :PT MUTIARA SUMBER WIDYA

Cetakan                :KE-6,1992

Ketebalan Buku   :88 Halaman

 

II.Sinopsis

          Jenderal Soedirman lahir Dukuh Rembang,Purbalingga,Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916.Ia lahir dari pasangan Karsid dan Sijem,tetapi dari kecil ia dirawat dan di asuh oleh Pak Tjokro. Soedirman melakukan aksi perang GERILYA dengan kemauan yang kuat dan juga karena ia telah berjanji dan bersumpah untuk membela dan menjaga keutuhan Negara Indonesia saat ia dilantik menjadi Panglima Besar angkatan bersenjata Republik Indonesia. Jenderal Soedirman melakukan gerilya dalam keadaan sakit parah dan bertahan hanya dengan satu paru-paru yang berfungsi dengan baik. Pak Dirman  wafat pada usia 34 Tahun di rumah peristirahatan tentara di taman Badakan,Magelang pada sore hari sekitar pukul18.30.Beliau di makamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Semaki,Yogyakarta ke esokan harinya. 

 

III.Kelebihian dan Kekurangan

·         Kelebihan :Buku ini dapat mengajarkan kita tentang perjuangan untuk tetap mempertahankan kesatuan,persatuan, dan keamanan Republik Indonesia dan juga dapat menambah rasa nasionalisme para pembaca  .

 

·         Kekurangan :Karena buku ini di tulis pada tahun 1992,banyak kata yang belum menggunakan EYD seperti sekarang dan ada beberapa kata yang sulit untuk di mengerti.

 

 

 

 

 

TUGAS 2 : THE RAID 2 BRADAL

 

 

             Produser   : 

·         Ario SagantoroNate Bolotin

·         Aram Tertzakian

 

Sutradara  : Gareth Evans                                                                                     

 

Pemeran    : 

·         Iko Uwais Julie Estelle,

·          Yayan Ruhian,

·          Donny Alamsyah

·          Arifin Putra,  

·         Tio Pakusadewo

 

 

Menonton The RaidRedemption dan The Raid 2Berandal mengingatkan saya pada cerita lama tentang seorang polisi Jerman yang menyambangi Picasso di kediamannya. Heran melihat "kekacauan" dalam lukisan Picasso, sang polisi bertanya, "Apakah kau yang melakukan ini?" Picasso menjawab tenang, "Bukan. Kau yang melakukan ini." Cerita lama ini terbayang-bayang tiga tahun yang lalu ketika di sebuah bioskop sewaktu saya ditohok-tohok dan ditonjok-tonjok oleh setiap jotos-tendang dalam Redemption. Terasa dekat sekali masalah-masalah yang ditampilkan: kelompok ilegal, rumah susun sebagai metafora hirarki, dan perjuangan polisi awam yang saking butanya terhadap sistem, harus menghadapi segala sesuatunya dengan otot. Lama saya berpikir. Apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh sutradara Gareth Evans? Apakah ia tengah memeragakan yang disebut Margaret Bruder sebagai "aestheticized violence"? Mungkin saja iya. Bergeser dari fokusnya pada silat dalam film Merantau, pada Redemption Evans membawa kita pada labirin berdarah-darah untuk menyelesaikan masalah sistem yang juga sudah mendarah-daging di republik ini, dan sang tokoh utama, tak lain tak bukan adalah orang yang terperangkap dalam masalah sistem tersebut. Meminjam kembali analogi cerita Picasso, Redemption penting bukanlah karena Evans (atau siapapun, tak peduli  muasalnya) yang melakukannya, melainkan karena saya bisa mengidentifikasi diri saya dalam film itu sebagai warga. Masalah yang sedang diatasi oleh Rama adalah masalah warga. Identifikasi ini tak ada hubungannya dengan keasyikan menonton kekerasan, atau perkara kekerasan yang di-seni-kan seperti kata Bruder. Ternyata jawabannya lebih daripada itu. Dalam Redemption, kekerasan adalah satu-satunya cara untuk bernegosiasi dengan rezim. Maka saya lebih suka melihat koreografi aksi dalam Redemption sebagai sebuah penggambaran ketidakmungkinan untuk bernegosiasi menggunakan lidah dengan para rezim. Jotos-jotosan dalam Redemption menjadi penting bagi saya bukan sebab teknisnya yang menakjubkan, melainkan karena moda potretnya atas kekerasan sebagai satu-satunya medium negosiasi yang mungkin antara pelaku sistem yang lemah dan orang-orang yang menguasai sistem tersebut (ingat CCTV di ruangan Tama Riyadi, sebuah piranti kontrol atas hirarki yang dibangunnya) . Rama mungkin adalah bagian dari polisi, aparatur negara yang bersifat represif, tapi kekerasan dalam mise-en-scene bukanlah kemauannya. Maka kekerasan dalam Redemption sama seperti sulap. Dua hal ajaib yang berharap bisa dilakukan seorang warga untuk mengubah situasi sistemiknya. Atas kenangan manis bersama Redemption, berbinar-binar saya datang ke bioskop untuk menyaksikan Berandal. Ceritanya Rama (Iko Uwais) harus bekerja sama sekali lagi dengan atasannya. Alasannya kuat, nama Rama sudah mulai terendus oleh kutub-kutub kekuatan mafia di Jakarta. Bila tak bekerja sama, diri dan keluarganya bisa saja menjadi korban. Menggunakan skenario atasannya, Rama dijebloskan ke penjara untuk mendekati Uco (Arifin Putra) yang kemudian akan mendekatkannya dengan seorang menteri korup bernama Bangun (Tio Pakusadewo).  Di sisi lain, terlibat pula seorang mafia bernama Bejo (Alex Abbad) yang disinyalir telah membunuh Andi (Dony Alamsyah), kakak Rama. Yang pertama kali terasa dari Berandal adalah motifnya. Bila Redemption berfokus pada sistem sebagai dasar motif, maka Berandal bergeser pada pribadi (agen) sebagai fondasi motif. Dalam sebuah adegan, kita lihat Rama dengan nafsu menjotos sebuah gambar di dinding penjara. Dihajarnya gambar itu sampai beberapa potongan semen jatuh mengelupas. Ada kegemaran dalam dirinya tentang kekerasan sehingga dua motif (melindungi anak-istri dan membalaskan dendam kakak) yang juga bersifat pribadi menjadi kalah kuat dibanding yang ini. Dari perkara motif yang bergeser ke ruang personal ini, adegan baku hantam dalam Berandalmenjadi tidak membumi. Ambil dua adegan berkelahi yang pertama: Rama yang show off di penjara melawan para tahanan dan adegan berkelahi berkubang lumpur melawan para opsir. Adegan pertama didahului oleh Rama, seolah mengumpulkan kesadaran untuk memroses hasrat dan ketagihan terpendamnya atas perkelahian, duduk menatap pintu yang digedor-gedor lawannya. Tak ada yang sistemik dari adegan ini. Semuanya hanya untuk menunjukkan pada tahanan penjara yang lain bahwa Rama adalah seorang jawara, untuk memamerkan pada penonton bahwa Rama memang adalah seorang jagoan. Tak kurang tak lebih. Adegan kedua berimbas lebih besar, dalam adegan ini kita dihadapkan pada peragaan kerja kamera yang menawan. Kamera ikut jatuh-bangun seiring orang-orang bangkit dan rubuh. Beberapa kali angle diambil dari atas (bird eye) untuk menunjukkan kemegahan adegan tersebut. Long take beberapa kali diambil untuk menunjukkan kedisiplinan koreografi film. Tapi apa alasannya? Ternyata pemantik semuanya hanya karena seorang tahanan mendekati Rama dengan ancang-ancang ingin memukulnya,  sekedar konflik lanjutan dari perkelahian pertama. Bila adegan pertama adalah adegan pamer pribadi bagi Rama, maka adegan kedua adalah ajang pamer kolektif bagi segenap pembuat film Berandal, bahwa secara teknis mereka sudah mampu membuat adegan sedemikian megah. Inilah pintu gerbang pertama bagi penonton untuk melihat imbas aliran modal besar-besaran pada projek Berandal setelah Redemption mendunia.

 

Keterampilan dan Modal Global

Belum lama ini, beredar klaim dari seorang produser film bahwa Berandal memamerkan citra yang "buruk" bagi Indonesia sebab film ini secara gamblang mempertontonkan kekerasan yang berlebihan yang sebenarnya tak sesuai dengan republik ini. Bagi saya, ini pernyataan yang dilontarkan tanpa berpikir. Sebelum membahas perkara kekerasan, perlu kita ketahui bahwa secara naratif, Berandal tidaklah sepenuhnya mewakili Indonesia sebagai sebuah entitas sosial. Dari awal film Berandal saja, kita bisa ketahui bahwa Rama tidaklah mewakili, tidak juga menjadi metafor bagi apapun yang ada di Indonesia sebagai sistem. Berandal adalah pertunjukan dan pelampiasan pribadi Rama sebagai seorang individu yang hasrat bawah sadarnya terlalu kuat untuk ia taklukkanMemang hampir semua pelaku dalam film ini adalah orang Indonesia, tapi ini ada oleh sebab aliran modal global yang terlalu dalam merasuki gaya film ini. Kalau kita mengumpamakan Redemption sebagai sebuah film yang sadar pikir, maka Berandal persis seperti film yang mabuk. Berandal dibuat mabuk oleh modal global yang masuk terlalu jauh ke dalam gayanya. Tak sekali dua kita dibuat gemas oleh gaya Arifin Putra yang terlalu menyerupai aktor film Korea Selatan Lee Byung-hun dalam beberapa filmnya. Belum lagi ballroom megah tempat Uco dan Bejo bertemu yang tidak bisa tidak mengingatkan pada tempat serupa dalam film gangster Korea A Bittersweet Life. Jangan lupakan penggunaan musik klasik dalam Berandal yang sudah ramai sekali dipakai pada adegan-adegan dalam film gangster dan thriller Jepang dan Korea. Lebih dari itu, gimmicksyang digunakan oleh para karakter pun lebih menyerupai sebuah film adaptasi komik ketimbang sebagai film aksi yang sadar ruang. Perhatikan karakter Hammer Girl (Julie Estelle) dan Baseball Bat Man (Very Tri Yulisman) yang datang entah dari mana, tiba-tiba menekuk (maaf, maksud saya, melubangi kepala) orang-orang yang ada di sekitar dengan senjata mereka yang juga tidak jelas apa maknanya. Segalanya serba gaya-gayaan. Harus disadari bahwa tidak seperti RedemptionBerandal dibuat untuk penonton mancanegara. Para penonton Euro-Amerika senang sekali mendapat tontonan segarang ini apalagi dari luar negeri, sama seperti senangnya mereka ketika menemukan sineas macam Miike Takashi. Segala kekerasan dibuat berlebihan dan berbunga-bunga sehingga tidak mengungkapkan apa-apa kecuali kekerasan itu sendiri. Atas dasar ini, Jakarta dalam film juga dibuat mabuk. Ada salju turun berlatarkan gerobak mie ayam ketika Prakoso (Yayan Ruhian) tewas. Ada kereta berkecepatan tinggi seperti yang ditumpangi Hammer Girl ketika melibas musuh-musuhnya. Ada senjata bebas berkeliaran di tengah hari di Jalan Antasari. Aliran modal besar yang mendasari pembuatan Berandal juga berpengaruh pada gaya mereka yang semakin megah namun menjauh dari bumi menuju awang-awang. Menonton Berandal seketika mengingatkan saya pada tulisan mendiang Paul Willemen, bahwa ada gaya film yang dibuat hanya untuk memamerkan bahwa pembuat film mampu melakukannya. Film semacam Transformers menjadi contoh yang disorot oleh Willemen. Dalam film itu, kecanggihan komputer asuhan sutradara Michael Bay sungguh mengagumkan. Tapi setelah dipikir, apa maknanya? Segala sesuatu dalam film itu dibuat hanya untuk mengatakan bahwa mereka mampu membuatnya. Sebuah kepongahan borjuis. Lain halnya dengan film seperti A Clockwork Orange, film yang segala kekerasan di dalamnya adalah hasil pembalikan sudut pandang yang menakutkan tentang kondisi masyarakat Inggris kiwari pada masanya. Alex DeLarge sang protagonis adalah penganut paham ultra-kekerasan yang memperkosa perempuan, rasis, namun pada saat yang bersamaan menggemari Beethoven dan sering bersenandung lagu dari film Singin' in the Rain. Bangunan kekerasan dalam film ini menasbihkan Alex DeLarge sebagai figur "monster berbudaya" yang menjadi patron-patron negara totaliter. Kekerasan dalam film ini adalah estetika sebab ia sedang bicara tentang dinamika ruang dan kehidupan yang melatarbelakanginya. Berandal rasa-rasanya lebih dekat pada contoh yang pertama. Ada semacam pernyataan bahwa beginilah film aksi bermodal besar dibuat. Imbasnya jatuh pada koreografi berteknis mencengangkan itu. Hebat, bukan main, amboi, keren. Tapi setelah dipikir-pikir, apa maknanya selain pamer bahwa mereka mampu merancang teknisnya? Lewat kesadaran semacam ini, adalah merupakan tindakan dungu kalau seseorang mencoba bercermin pada Berandal sebagaimana mereka bercermin pada RedemptionBerandal dibuat tidak untuk menjawab apapun di Indonesia, tidak pula untuk merepresentasikan apapun di Indonesia. Segala yang ada dalam Berandal adalah tarian modal global, the dance of the global capital, yang digabung dengan terampilnya orang-orang yang menukangi film ini. Redemption memungkinkan kita berkaca tentang kehidupan kini dan di sini, ia pantas disebut sebagai film dalam bingkai estetika. Lain halnya dengan Berandal yang tidak memungkinkan proses berkaca itu. Alasannya sederhana, film ini baru sampai pada level keterampilan teknis semata.

 

TUGAS 3 : FILM GIE

Film ini diproduksi ke dalam layar lebar seluloid dengan tata suara yang tak yakin terdengar stereo. Saya tak tahu apakah memang sulit melakukan mixing 4 kanal suara (surround, center dan subwoofer bisa virtual dari filtering kiri/kanan)? Kecuali pada saat syuting dan editing input suara memang hanya sedikit, jadi sayang kualitas teater dengan tata suara DTS tidak terpakai. Okelah, mungkin tata suara surround terlalu canggih, saya lihat sistem stereonya saja, di banyak adegan sering terjadi tumpang tindih, narasi bertabrakan dengan backsoundhingga saya sulit mendengar, terkadang backsound volumenya terlalu kencang dibandingkan narasi atau dialog. Saya tidak tahu ini kesalahan di tata suara teater ataukah memang dari seluloidnya seperti itu. Ah, ngejelekkin mulu! Film ini dikemas dengan setting yang baik, meskipun saya tidak tahu persis seperti apa kondisi jalan, rumah, pakaian, budaya dan tata bahasa tahun 1950-an hingga akhir 1960-an. Hanya para orang tua kita yang bisa mengkonfirmasikan apakah benar Jakarta pada tahun itu kata-kata 'gue' dan 'lu' sudah sangat membudaya? Apakah benar tahun tersebut sudah ada jam tangan bulat tipis yang dipakai Gie? Orang tua saya dulu tidak tinggal di Jakarta, jadi saya tidak ada tempat bertanya. Eh, anak Betawi yang bonyoknya lama di Jakarta kasih tahu gue ye! Diawali dengan narasi Gie yang datar seperti seseorang bercerita kepada anak kecil mulai mendeskripsikan siapa itu Soe Hok Gie, pikirannya, keluarganya dan lingkungannya. Dialog dan adegan perlahan-lahan ditunjukkan untuk menampilkancharacter development Gie dari sejak SMP hingga masuk Kolese Kanisius. Satu yang tak saya suka adalah pergantian adegan ke adegan diselingi layar hitam selama beberapa detik, buat saya ini cukup mengganggu. Dalam menonton film di bioskop mata dan telinga saya tak butuh istirahat, atau menghela nafas sejenak. Memasuki Fakultas Sastra UI karakter Gie semakin ditunjukkan penuh konflik, ketidakpuasannya terhadap pemerintahan, keprihatinannya kepada masyarakat, pandangannya kepada perempuan, bahkan kepada pola dan budaya kemahasiswaan di kampusnya. Gie memang tak mau menjadi top leader di kampusnya namun ia punya dukungan penuh kepada sahabatnya Herman Lantang, yang selain aktif bersama di kemahasiswaan juga bersama-sama membentuk organisasi hobi yang waktu itu bisa dikatakan gila di jaman revolusi, yaitu naik gunung. Jika anda membaca Catatan Seorang Demonstran tentu anda berharap adegan-adegan demonstrasi yang dimotori oleh Gie dan sahabat-sahabatnya, bahkan cukup detil dituliskan dalam catatan hariannya. Memang tidak banyak ditunjukkan dan saya sempat berpikir bahwa film ini akan menyodorkan bagaimana proses sebuah demonstrasi mahasiswa disiapkan secara teknis dan nonteknisnya, saya tak berharap ada adegan demonstrasi kolosal yang mahal. Di sisi lain kegiatan hobinya naik gunung kurang ditunjukkan, sebab saya ingin tahu pada tahun itu seperti apa mereka menyiapkan peralatan naik gunung yang tentunya tak mudah didapatkan seperti sekarang, dan hal ini ada penjelasannya di buku CSD. Di film ini cakrawala lebar hanya bisa anda dapatkan dalam setting di gunung, termasuk di padang Edelweiss (padang Suryakencana kalau tidak salah namanya) Gunung Gede dan puncak triangulasi Gunung Pangrango (saya pernah duduk juga di puncak Pangrango tersebut dan tidur di kelilingi bunga Edelweiss yang berlimpah), sedangkan di kota hanyalah sudut-sudut kamera sempit namun cukup tertata dalam menggambarkan suasana kota lama Jakarta.Satu yang kurang dari film ini adalah Gie pernah melakukan perjalanan ke luar negeri yaitu ke Amerika dan ke Australia di tahun 1968, setahun sebelum Mapala UI menyiapkan pendakian ke puncak tertinggi di pulau Jawa yaitu gunung Semeru, namun tidak ada deskripsi atau adegan tentang hal ini, memang cukup mengecewakan, namun bisa dimengerti jika alasannya adalah sulit dan mahalnya pengambilan gambar. Salah satu catatannya selama ke Australia adalah piringan hitam Joan Baez-nya ditahan di bandara. Di waktu sebelumnya Sita menyanyikan lagu Donna Donna Donna dengan apik, bahkan cukup menyayat hati mendengar kembali lagu tersebut di film Gie. Lagu "Donna Donna Donna" dulu saya dengarkan sambil membaca buku CSD, yang cukup memengaruhi saya menyukai lagu-lagu Joan Baez yang lain, terutama lagu Diamond and Rust (1975).

 

 

TUGAS 4 : RESENSI FILM SANG PENCERAH

 

Sang Pencerah adalah sebuah film yang mengisahkan pada suatu kampung terbesar di yogyakarta yakni kampung Kauman, dengan Masjid besar sebagai pusat kegiatan Agama yang dipimpin seorang penghulu serta diberikan gelar Kamaludiningrat pada tahun 1868. Bukan hanya itu saja film yang digaraf oleh Ram Punjabi ini telah mendapatkan dukungan dari pimpinan pusat Muhammadiyah keluarga besar kyai Haji Ahmad Dahlan, warga Kauman dan kota Gede Yogyakarta. Saat itu Islam dipengaruhi oleh ajaran Syeh Siti Jenar yang meletakan raja sebagai perwujudan Tuhan dan masyarakat banyak meyakini bahwa raja adalah sabda Tuhan yang membuat syariat Islam bergeser kearah tahayul dan mistik. Sementara itu, kemiskinan dan kebodohan sangat merajalela yang diakibatkan oleh politik tanam kerja paksa penjajah Belanda. Sedangkan Agama tidak bisa mengatasi keadaan dikarenakan terlalu sibuk dengan urusan tahayul yang jelas-jelas jauh meleset bertentangan dengan Al'Quran dan Sunah Rassul. Pada suatu masa lahirlah seorang anak laki-laki yang memiliki sifat berbeda dengan masyarakat kampung kauman dan diberina Muhammad, kebanyakan masyarakat kampung selalu memberikan sesajen ditempat-tempat yang dianggap sakral salah satunya menyimpan kelapa muda dan kembang-kembang dibawah pohon rindang. Setelah tumbuh besar anak tersebut menjadi seorang pengajar ngaji akan tetapi masyarakat malah semakin dibutakan dengan kebohohan bahkan tercipta adanya suatu kelompok yang disebut kelompok kejawen. Kebiasaan dari kelompok tersebut adalah menjelek-jelekan islam, menganggap Islam itu agama yang terbelakang mereka lebih memilih untuk bersenang-senang dengan kaum penjajah Belanda salah satunya yaitu minum alkohol yang sudah jelas dilarang oleh ajaran Islam. Masyarakat begitu membenci anak tersebut ketika sudah menjadi kyai karena dianggap ajarannya menyesatkan karena kyai tersebut berkeinginan merubah sifat masyarakat kearah yang lebih baik dan sesuai dengan ajaran Islam sebenarnya. Kyai tersebut mulai mendekati masyarakat Kauman secara perlahan-lahan yakni masuk kesuatu kelompok, sekolah-sekolah dengan pendekatan ajaran Islam yang sesungguhnya. Masyarakat kampung bahkan menganggap bahwa ajaran yang diajarkan kyai Muhammad tersebut menyesatkan dan anak-anak dari masyarakat kampung dilarang untuk belajar terhadapnya karena sudah dikategorikan sebagai orang kafir. Bukan hanya itu saja, keluarga kyai Muhammad ayah dan ibunya Muhammad selalu melarang kyai Muhammad untuk meneruskan ajarannya itu. Muhammad selaku kyai dikampung tersebut selalu di cemoohkan oleh warga masyarakat kampung Kauman bilamana Kyai Muhammad lewat mereka selalu menyebutnya dengan sebutan kyai kafir namun Kyai Muhammad tidak terpengaruh dengan ejekan-ejekan yang dilontarkan orang-orang, Kyai Muhamad tetap sabar dan teguh dengan pendiriannya. Pada suatu masa kyai muhammad mendirikan sekolah madrasah dengan dibantu oleh murid-muridnya, sekolah tersebut dibuka secara geratis untuk umum, anak-anak yang belum sekolah, dan anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Kyai Muhammad dan murid-muridnya mencari anak-anak dikampung Kauman mereka dirawat layaknya anak sendiri dan dibekali dengan ajaran-ajaran Islam yang benar. Namun setelah berdirinya sekolah tersebut mendapati tolakan-tolakan dari guru-guru besar yang dahulu mengajari Muhammad saat menuntut ilmu karena sekolah yang didirikan Muhammad menggunakan fasilitas-fasilitas yang sudah modern seperti adanya meja, kursi, papan tulis. Guru-gurunya marah karena fasilitas tersebut adalah fasilitas yang digunakan oleh orang-orang kafir. Saat guru besar yang mengajari Muhammad tempo dulu datang mengunjungi sekolah yang didirikan kyai Muhammad, gurunya kyai Muhammad tersebut malah mengejek-ngejek Muhammad karena kyai Muhammad salah telah menggunakan fasilitas sekolahnya dengan buatan orang-orang kafir. Akan tetapi kyai muhammad menanggapinya dengan tenang dan sabar malah kyai Muhammad menjelaskan balik secara sopan kepada gurunya tersebut. Diakhir kisah ajaran yang diajarkan Kyai Muhammad diterima oleh Masyarakat kampung Kauman, saking diterimanya banyak orang-orang dari kampung tersebut meminta nasehat kepada kyai muhammad. Akhirnya mulai dari situlah kyai Muhamad disenangi oleh masyarakat kampung bahkan sampai memiliki banyak murid ataupun santri-santri yang belajar kepadanya.

 

 

TUGAS 5 : RESENSI FILM NYAI AHMAD DAHLAN 

Sutradara: Olla Ata Adonara

Penulis: Dyah Kalsitorini

Pemain:

·         Tika Bravani

·         David Chalik

·         Cok Simbara

·         Della Puspita

·         Rara Nawangsih

·         Egy Fadly

·         Inne Azri

·         Malvino Fajaro

 

Film biografi Indonesia berjudul "Nyai Ahmad Dahlan" ini merupakan film yang bercerita tentang kisah dari seorang wanita bernama Siti Walidah ( Tika Bravani ) yang lebih dikenal dengan 'Nyai Ahmad Dahlan. Sejak kecil Siti Walidah memiliki impian untuk menjadi seorang yang pintar, Siti Walidah lahir pada tahun 1872 di sebuah Kampung Kauman.Pada saat zaman tersebut, perempuan memiliki pergaulan yang sangat terbatas dan tidak belajar di sekolah formal. Setelah dewasa, Siti Walidah menikah dengan seorang pria bernama KH Ahmad Dahlan ( David Chalik ) dan dengan menjadi istri beliau menjadi Nyai Ahmad Dahlan. Kyai Ahmad Dahlan merupakan seorang sosok lelaki yang memiliki pikiran maju dan mendukung istrinya untuk bersama membangun bangsa Indonesia.Kyai Ahmad Dahlan bersama dengan Nyai Ahmad Dahlan juga dengan segala kecerdasannya ikut membangun dan membesarkan Muhammadiyah. Karena pergaulan dari Nyai Ahmad Dahlan bersama dengan para tokoh-tokoh, baik dari tokoh dari Muhammadiyah dan juga tokoh pemimpin bangsa lainnya dan kebanyakan dari teman seperjuangan suaminya, wawasan dan pandangan dari Nyai Ahmad Dahlan menjadi sangat luas. Tokoh-tokoh pemimpin bangsa tersebut tidak lain adalah Bung Karno, Bung Tomo, Jenderal Sudirman, KH Mas Mansyur dan lain-lainnya.Setelah mendirikan dan membesarkan Muhammadiyah, Nyai Ahmad Dahlan turut merintis sebuah kelompok pengajian demi pengajian untuk memberikan ilmu keagamaan bagi para semua wanita hingga terbentuknya organasisai yang dikenal dengan 'Aisyiyah'. Pada zaman tersebut, tidak mudah untuk membesarkan organasasi wanita, Nyai Ahmad Dahlan bersama dengan para pengurus Aisyiyah harus berjuang memajukan perempuan yang bermanfaat bagi keluarga, bangsa dan negara.Menurut Nyai Ahmad Dahlan, bahwa wanita juga sepadan perannya dengan lelaki namun tidak boleh sampai melupakan fitrahnya sebagai seorang wanita. Pada saat Jepang masuk ke Indonesia, beliau menentang para penjajah Jepang dengan melarang para warga untuk menyembah dewa matahari. Bersama dengan para warga, beliau mendirikan dapur umum bagi para pejuang untuk melawan para penjajah. Kehidupan bersama dengan KH Ahmad Dahlan, Nyai Ahmad Dahlan juga saling mendukung dalam hal membangun bangsa tergambar begitu indah. Dengan cinta menjadi landasan dalam menjalani hidup dan perjuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar