Sabtu, 12 Mei 2018

Hukum 02- NIM 171710295- PERBANDINGAN DEMOKRASI INDONESIA DAN NEGARA JERMAN

Demokrasi saat ini bagaikan buah yang sangat berharga di mana-mana. Tak hanya di Indonesia, berbagai negara pun melihat demokrasi sebagai sebuah keharusan, meskipun masih ada beberapa negara yang di dalamnya masih banyak praktek-praktek kebijakan yang tidak demokratis, baik konsep maupun implementasinya. Kita juga masih ingat, bagaimana negara-negara di timur tengah, seperti Mesir bergejolak dan lagi-lagi mereka menuntut hadirnya demokrasi. Bahkan, kondisi pemerintahan pun berjalan tidak stabil ada pula yang berujung pada kudeta yang sekali lagi menginginkan adanya perubahan menuju sistem yang lebih demokratis. Oleh karena itu, menarik apabila melihat fenomena demokrasi yang menggema di berbagai negara saat ini.

 Hadirnya demokrasi di berbagai negara bukanlah suatu hal yang kebetulan. Seperti di Jerman dan Indonesia, kedua negara ini menghadirkan demokrasi dari proses perjalanan sejarah yang cukup panjang. Tidak hanya di Jerman yang beberapa kali berganti penguasa, berganti pula sistem pemerintahannya, menjadikan negara tersebut belajar untuk mencari formasi terbaik bagi negaranya. Kita masih ingat ketika Jerman berada di bawah rezim Adolf Hitler, dimana kekuasaan yang dimiliki sangatlah absolute, otoriter, dan militeristik (fasisme). Pengalaman masa lalu jelas berdampak besar bagi Jerman, sehingga Jerman juga pernah terpecah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur. Masa lalu menimbulkan dilema, setelah tembok Berlin diruntuhkan menandai babak baru bagi kehidupan Jerman, sehingga Jerman menjadi negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan hak asasi manusia.

                  Indonesia juga seperti itu, salah satu peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah adalah saat terjadi tuntutan yang begitu "besar" untuk mengganti penguasa orde baru (rezim Soeharto) sehingga hadirlah reformasi yang menjadi pembuka gerbang kembali pelaksanaan pemerintahan yang lebih demokratis.

 

Jerman: antara Hukum dan Demokrasi

Di mata orang Indonesia, Jerman dikenal sebagai negara teknologi dan untuk itulah banyak putra Indonesia yang belajar di Jerman. Hampir seluruhnya meyakini bahwa teknologi adalah faktor penentu bagi kemakmuran Jerman.Keyakinan ini dapat dipahami namun tidak seluruhnya benar. Jerman tidak hanya soal teknologi, Negara ini juga menawarkan model negara hukum terbaik (rechstaat) yang mungkin Indonesia bisa memetik pengalamannya.

Kalau Indonesia dan Jerman dipotret dalam suatu bingkai yang sama maka terdapat persamaan dan perbedaan yang esensial. Persamaan yang gampang terlihat adalah bahwa kedua negara ini adalah sama-sama negara terbesar dalam regionalnya. Indonesia di ASEAN dan Jerman di Uni Eropa.

Namun terdapat perbedaan yang mungkin penting bagi Indonesia untuk perjalanan kedepan dalam proses pembangunan bangsa. Pertama, ternyata di Jerman konsep rechstaat (negara hukum) lahir terlebih dahulu, dan kemudian disusul dengan demokrasi. Sebaliknya bagi Indonesia, demokrasi lahir terlebih dahulu, khususnya pasca reformasi 1998, baru kemudian konsep negara hukum dicoba dibangun.

Jerman adalah arsitek negara hukum yang sangat menghormati hukum. Pada periode kepemimpinan Hitler bahkan lebih menghormati hukum daripada menghormati demokrasi dan HAM. Masa itu mungkin dinilai sebagai fase anti demokrasi dan HAM, namun tidak anti hukum. Di museum-museum peringatan pembantaian Jahudi, terdapat percikan sejarah yang memperlihatkan adanya kriteria resmi siapa yang dimaksud ras Jahudi dan siapa yang bukan.[1] Kriteria ini ditetapkan dalam bentuk peraturan. Artinya, perbuatan negara untuk pemusnahan etnis ini pun tetap didasarkan pada "hukum positif" dan bukan semata-mata kekuasaan.

Sistem rechstaat Jerman dibangun diatas prinsip yang ketat sehingga dalam sistem hukumnya terdapat karakteristik antara lain semua norma hukum adalah produk negara serta tertuang dalam suatu perundang-undangan yang rinci, norma dibawah UUD hanya dapat dibuat jika diamanatkan oleh UUD tersebut. Norma-norma sosial dapat hidup sepanjang tidak melanggar norma-norma hukum, dan norma-norma ini dilaksanakan berdasarkan prinsip legalitas.

Penegak hukum demikian takutnya terhadap hukum dan selalu diawasi oleh publik. Kita masih ingat bahwa pencederaan terhadap norma kepantasan pun mengakibatkan Presiden Wolf harus mengundurkan diri.

Perbedaan kedua yang membedakan tumbuhnya hukum terlebih dahulu dibandingkan dengan demokrasi adalah Jerman dibangun dengan bergabungnya negara-negara berdaulat (laendern) menjadi federasi. Artinya, negara-negara bagian ini telah ada terlebih dahulu sebelum lahirnya Negara Federasi Jerman. Dalam konteks ini maka Jerman mengalami proses sentralisasi. Baru seusai perang Perancis-Prusia (1870-1871), Jerman menganut sistem parlementer. Jerman juga pernah menggunakan sistem Demokrasi, dan juga pernah menjadi negara yang dipimpin oleh seorang diktaktor yang kuat, yakni pada masa Adolf Hitler.

Pada masa Hitler, Jerman berada di bawah rezim yang sangat otoritatif dan fasismeistik. Oleh karena itu, kekuasaan berada di tangan penguasa yang absolut. Dampak dari rezim Hitler adalah terpecahnya kubu Jerman, yakni Jerman Barat (Republik federal Jerman) dan Jerman Timur (Republik Demokratik Jerman). Kekalahan dalam Perang Dunia II telah membuat Jerman kehilangan wilayah timur. Lalu pemerintahan berpindah ke Jerman Barat. Setelah negara Jerman terpisah lalu pada tahun 1990 terjadi penyatuan kembali dengan diruntuhkannya tembok Berlin. Sistem pemerintahan berubah menjadi sistem pemerintahan demokrasi yang berbasis ideologi berlandaskan prioritas hak-hak asasi manusia.

 

Indonesia: Kelahiran Demokrasi

            Setelah Proklamasi, Indonesia resmi menjadi negara yang merdeka yang menginginkan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan lepas dari penjajahan dan penindasan. Namun, permasalahan tidak selesai sampai di situ, setelah proklamasi juga masih masih terjadi gejolak di dalam negeri. Salah satu peristiwa yang menghebohkan adalah Gerakan 30 S/PKI.

            Pada masa awal pembentukan negara juga masih terjadi perdebatan tentang bagaimana sebenarnya bentuk negara yang ideal bagi Indonesia, hingga terjadi perpecahan di antara para tokoh di Indonesia. Ada kubu nasionalis, komunis (meskipun tidak terlalu Nampak di awal) dan kubu yang menginginkan islam sebagai dasar negara.[2]Akhirnya, disepakati Pancasila sebagai dasar negara.

            Dalam Dewan Konstituante, perdebatan masih berlanjut sehingga masih banyak tokoh-tokoh yang berdebat kusir dan tidak menemukan solusi terbaik. Inilah yang mengakibatkan Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan tugasnya hingga deadline yang ditentukan sehingga Soekarno membubarkannya.[3]

            Meskipun Pancasila dilahirkan masa Soekarno, tapi masa Soehartolah Pancasila dijadikan sebagai media untuk ditegakkan secara penuh dan mendalam.[4] Kita masih ingat, pada masa orde baru banyak sekali "kebebasan" dibelenggu dan berbagai kebijakan bersifat sentralistik dengan argument dari pemerintah semua itu dilakukan agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Bahkan, di dunia pendidikan juga diberikan pelajaran tentang nilai nilai Pancasila (P4).

            Celakanya, penguasa orde baru, tidak memberikan kepuasan bagi rakyat sehingga pada tahun 1998 tuntutan untuk mengganti rezim Soeharto sangat kuat, sehingga gejolak demonstrasi menimbulkan instabilitas pemerintahan. Rezim Soeharto diangggap sangat otoriter dan tidak demokratis sehingga muncul tuntutan disana-sini agar Soeharto mundur.[5] Setelah Soeharto mundur pun, Habibie masih tidak dianggap mampu memberikan nilai demokrasi, meskipun pada masa itulah pers diberika kebebasan. Akhirnya, dilakukanlah pemilihan umum pertama pada masa reformasi. Pemilu ini menjadi babak baru bagi terselenggaranya kehidupan demokrasi bagi Indonnesia. Masyarakat berharap lebih kepada pemimpin baru yang akan terpilih nantinya.

 

            Antara Jerman dan Demokrasi memang sekarang ini menganut sistem pemerintahan yang berbeda. Namun, keduanya menggunakan aspek demokrasi sebagai nilai yang harus diperjuangkan. Meskipun begitu, kedua negara tersebut mendapatkan demokrasi dari sudut yang berbeda. Jerman yang memang dari awal merupakan gabungan dari wilayah-wilayah Romawi kuno yang mendasarkan kekuatan hukum yang kuat, dan saat pemerintahan yang sangat otoriter berkuasa maka perpecahan Jerman Barat dan Timur menjadi pelajaran untuk membentuk negara yang menjunjung nilai-nilai dan hak asasi manusia yang lebih demokratis. Sedangkan Indonesia, dari awal memang menginginkan kemerdekaan agar terlepas dari penjajahan dan pada masa orde baru, pemerintahan ototriter menjadikan rakyat jenuh dan ingin mendapatkan kehidupan yang lebih demokratis (tuntutan reformasi). Melihat faktor sejarah dari dua negara tersebut, akankah selama ini demokrasi di kedua negara tersebut sudah berjalan membuat rakyatnya menjadi lebih baik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar