1. Yang menghapus 7 kata dalam sila pertama adalah Ki Bagus Hadikusumo
2. Profil Ki Bagus Hadikusumo
Ki Bagus Hadsikusumo adalah tokoh Pengurus Besar Muhammadiyah, yang telah memimpin selam 11 tahun sejak 1942 sampai 1953. Beliau merupakan satu dari lima tokoh yang mendapat gelar Pahlawan Nasional pada November 2015.
a. Biografi
Bagus Hadikusumo dilahirkan di Kampung Kauman, Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabiul akhir 1038 Hijriah (24 November 1890) Ia putra ketiga dari lima bersaudara Rade Haji Lurah Hasyim seorang abdi dalem putihan agama islam di Kraton Yogyakarta.
Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa kyai di Kauman, Setelah tamat dari sekolah Ongko Loro (tiga tahun tngkat sekolah dasar), Ki Bagus Hadikusumo belajar di Pesantren Wonokromo Yogyakarta. Di pesantren, ia banyak mengkaji kitab-kitab fiqih dan tasawuf.
Kemahirannya dalam sastra Jawa, Melayu, dan Belanda didapat dari seorang yang bernama Ngabehi Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga belajar bahasa Inggris dari seorang tokoh Ahmadiyah yang bernama Mirza Wali Ahmad Baig.
Dalam usia 20 tahun, Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri Raden Haji Suhud) dan memperoleh enam anak. Salah seorang diantaranya ialah Djarnawi Hadikusumo, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah dan pernah menjadi ornag nomor satu di Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, ia menikah lagi dengan seorang wanita pengusaha dari Yogyakarta Mursilah. Pernikahan ini dikaruniai tiga orang anak. Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan Siti Fatimah (juga seorang pengusaha) setelah istri keduanya meninggal. Dan istri ketiga ini ia memperoleh lima anak
b. Pengalaman Berorganisasi
Tahun 1922, Ki Bagus menjadi Ketua Majelis Tabligh. Tahun 1926 menjadi Ketua Majelis Tarjih dan anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammdiyah. Tahun 1942 hingga 1953 terpilih menjadi ketua PB Muhammadiyah.
Hadirnya Ki Bagus Kusumo PB Muhammdiyah berawal saat terjadi pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya Perang Dunia 2. Ki Bagus diminta oleh KH. Mas Mansoer untuk menggantikannya sebagai ketua PB Muhammadiyah pada kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta karena Mas Mansoer dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta 1942.
Saat menjadi ketua di Muhammadiyah di masa pendudukan Jepang, Ki Bagus sering mengadakan dialog dengan Jepang agar siswa-siswa Muhammadiyah tidak menyembah matahari setiap hari atau melakukan Sekerei.
Ia sempat pula aktif mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul. Selain itu, bersama kawan-kawnannya ia mendirikan klub yan bernama Kauman Voetbal Club (KVC) yang kelak dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW)
c. Peran dalam Perumusan Muqadimah UUD 1945
Di samping memimpin Muhammadiyah, Ki Bagus juga menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Beliau ikut merumuskan dasar negara bersama Ki Hajar Dewantara dan Muhammad Hatta, Ir. Soekarno, Muhammad Yamin, AA Maramis, R Otto Iskandar Dinata, Mas Soetardjo Kartohadikoesoemoe, dan KH Wahid Hasyim.
Ki Bagus Hadikusumo sangat besar jasa serta perannannya dalam perumusan Muqadimah UUD 1945. Ia memberikan masukan agar Muqadimah UUD 1945 berlandaskan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu dalam Muqaddimah UUD 1945 itu disetujui oleh semua anggota PPKI.
d. Karya
Ki Bagus sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya. Buku-buku karyanya antara lain Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin. Terdapat pula karya-karyanya yang lain, yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954).
Dari buku-buku tersebut, tercermin komitmennya terhadap etika bahkan syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk perkembangan Islam.
e. Pengangkatan sebagai Pahlawan Nasional
Ki Bagus Hadikusumo meninggal di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 64 tahun. Pada hari Selasa, 10 November 2015 bertepatan dengan Hari Pahlawan, ia diberi gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia oleh Presiden Joko Widodo dengan Keppres No. 16/TK/2015.
3. Alasan penghapusan 7 kata
Menurut sejarah yang disampaikan Bung Hatta, sore hari 17 Agustus 1945 beliau menerima tamu seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang menyampaikan suatu hal yang amat penting bagi Indonesia. Opsir itu, Bung Hatta sendiri lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan terhadap bagian dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi: "Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Jika bagian kalimat itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Dalam buku Sekitar Proklamasi, terdapat penjelasan Bung Hatta bahwa ia tidak menerima begitu saja keberatan dimaksud, "Saya katakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menanda-tanganinya." tulis Bung Hatta.
Singkat cerita Bung Hatta akhirnya menerima keberatan dimaksud dan berjanji akan menyampaikan kepada sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, esok harinya. Pagi hari tanggal 18 Agustus 1945 menjelang dimulainya sidang PPKI dengan agenda pengesahan Undang-Undang Dasar, Bung Hatta melobi tiga orang anggota PPKI yang mewakili golongan Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan. Dalam keterangan Prawoto, K.H.A.Wahid Hasjim tidak hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945 karena sedang perjalanan ke Jawa Timur.
Wakil Presiden Pertama RI itu meminta para tokoh Islam tersebut berkenan menghapus tujuh kata dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya eksponen perjuangan Islam yang paling senior pada waktu itu semula keberatan. mengingat rumusan kalimat mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya merupakan hasil musyawarah-mufakat dalam sidang BPUPKI 22 Juni 1945. Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Bung Hatta. Keputusan terakhir ada pada Ki Bagus Hadikusumo.
Kesediaan Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata menyangkut syariat Islam menjadi "kunci" pengesahan Pembukaan UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip dasar negara Pancasila. Bung Hatta yang bertanggungjawab atas dihapusnya "tujuh kata" pada Piagam Jakarta agar Indonesia tidak pecah sebagai bangsa menggaris-bawahi: "Pada waktu itu kami dapat menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan 'Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dan menggantinya dengan 'Ketuhanan Yang Maha Esa'."
Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo mengemukakan, "Perubahan tujuh kata rumus "Ke-Tuhanan" itu amat penting, karena "Yang Maha Esa" menentukan arti dari Ketuhanan. Pancasila yang kini secara geruisloos menjadi filsafat negara kita itu, tidak mengenal Ke-Tuhanan sembarang ketuhanan. Sekali lagi bukan ketuhanan sembarang ketuhanan, tetapi yang dikenal oleh Pancasila ialah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah."
Prawoto Mangkusasmito beberapa tahun setelah itu menanyakan kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa". Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu "tauhid". Hal yang sama ditanyakan pula kepada Mr. Teuku M. Hasan, saksi sejarah yang hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945, tokoh asal Aceh itu tidak membantahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar