Selasa, 30 Oktober 2018

07181310328 - Jawaban Saya

Pertanyaan : Siapakah yang menghapus beberapa kata dalam piagam jakarta yang menjadikanya sila pertama sebagai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa? 

Jawab : Piagam Jakarta atau yang disebut juga Jakarta Charter merupakan hasil dari kinerja Panitia Sembilan yang dilakukan pada tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini memuat jiwa dari Pancasila dan UUD 1945 yang akan mendatang.

     Pada saat pengesahan Piagam Jakarta, bunyi pada sila pertama yaitu " Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ", namun karena mengalami beberapa keluhan dari Tokoh – tokoh non muslim di Indonesia Timur, mengenai keberatan dengan bunyi pada sila pertama, dan guna menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia, akhirnya setelah mengalami diskusi antara kaum islam dan kaum nasionalis, sila pertama pada tanggal 18 Agustus 1945 di gubah PPKI menjadi " Ketuhanan Yang Maha Esa " dan resmi menjadi Pembukaan UUD 1945.

Piagam Jakarta adalah dokumen historis berupa kompromi antara pihak Islam dan pihak kebangsaan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk menjembatani perbedaan dalam agama dan negara. Disebut juga "Jakarta Charter". Merupakan piagam atau naskah yang disusun dalam rapat Panitia Sembilan atau 9 tokoh Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini disusun karena wilayah Jakarta yang besar, meliputi 5 kota dan satu kabupaten, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Kepulauan Seribu. Oleh karena itu, provinsi DKI Jakarta dibentuk dengan piagam tersebut dan menetapkan Soewirjo sebagai gubernur DKI Jakarta yang pertama sampai 1947.

Sembilan tokoh tersebut adalah:

Ir. Soekarno
Mohammad Hatta
Sir A.A. Maramis
Abikoesno Tjokrosoejoso
Abdul Kahar Muzakir
H. Agus Salim
Sir Achmad Subardjo
Wahid Hasyim
Sir Muhammad Yamin.




Sejak Pancasila disepakati sebagai ideologi negara RI sampai sekarang tercatat ada lima rumusan resmi:
Rumusan Pertama terkandung dalam Piagam Jakarta yang ditetapkan pada 22 Juni 1945. Rumusan Kedua  dalam Pembukaan UUD 45 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Rumusan Ketiga dalam Mukadimah Konstitusi  R. I. S. (Republik Indonesia Serikat) yang ditetapkan pada 27 Desember 1949. Rumusan Keempat dalam Mukadimah UUD Sementara, ditetapkan pada 15 Agustus 1950.  Rumusan Kelima  yang berlaku hingga sekarang ditetapkan melalui Dektrit Presiden  5 Juli 1959. Rumusan kelima ini sama dengan rumusan kedua, namun dengan tambahan keterangan "dijiwai oleh semangat Piagam Jakarta"  sebagaimana  dikemukakan Bung Karno yang kala itu adalah Presiden RI.

Rumusan Pertama
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan Kedua
Ketuhanan Yang Maha Esa
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Persatuan Indonesia;
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan (catatan: untuk itulah dibentuk MPR yg bertugas memilih  presiden dan wakil presiden, tak perlu pemilihan langsung}
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan Ketiga
Ketuhanan Yang Maha Esa;
Peri-Kemanusiaan;
Kebangsaan;
Kerakyatan;
Keadilan sosial.

Rumusan Keempat
Ketuhanan Yang Maha Esa;
Perikemanusiaan
Kebangsaan
Kerakyatan;
Keadilan sosial.
Rumusan Kelima
Sama dengan Rumusan II, dengan catatan bahwa sila-sila yang dikandung di dalamnya dijiwai oleh semangat Piagam Jakarta seperti ditegaskan Presiden Sukarno. Khususnya berkenaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perubahan Sila Pertama
Sebagaimana kita ketahui usul para wakil golongan nasionalis Islam dalam sidang terakhir BPUPK sangat berpengaruh dalam menyusun Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Dalam sidang terakhir yang beranggotakan 9 orang itu, terdapat 4 orang wakil golongan nasionalis Islam. Golongan nasionalis sekuler: Sukarno, Mohamad Hatta, A. A. Maramis, Ahmad Subardjo dan Mohamad Yamin. Golongan nasionalis Islam: Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Hají Agus Salim dan A. Wahid Hasjim.
Meskipun sila pertama kemudian dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut  Nijwenhuijze, seorang sarjana Belanda, sila tersebut berasal dari golongan nasionalis Islam. Begitu pula Hazairin dalam bukunya Demokrasi Pancasila (Jakarta 1970:58) menyatakan bahwa istilah tersebut hanya mungkin berasal dari kebijaksanaan dan iman orang Indonesia yang beragama Islam. Khususnya sebutan Yang Maha Esa, yang dapat dikaitkan dengan seburtan Allahu al-wahidu al-Ahad(Allah Yang Satu dan Esa).
Pernyataan kedua sarjana tersebut dapat dihubungkan dengan pernyataan Profesor Supomo S. H. Dalam pidatonya 31 Mei 1945 dalam sidang BPUPK Prof. Supomo membedakan bahwa ada dua gagasan tentang negara yang dikemukakan dalam BPUPK, yaitu gagasan "Negara Islam" dan gagasan "Negara berdasarkan cita-cita luhur dari agama Islam". Menurut Supomo:
Dalam negara yang tersusun sebagai "Negara Islam", negara tidak bisa dipisahkan dari agama.Negara dan agama ialah satu., bersatu padu… dan hukum syariat itu dianggap sebagai perintah Tuhan untuk menjadi dasar untuk dipakai oleh negara."

Supomo menganjurkan agar negara Indonesia tidak menjadi negara Islam, tetapi menjadi "negara yang memakai dasar  moral yang luhur yang dianjurkan juga oleh agama Islam".  Alasan Supomo diterima oleh banyak nasionalis Islam, karena itu untuk sementara waktu perubahan rumusan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta tidak lagi mencantumkan kata-kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" dan diganti dengan kata-kata "Yang Maha Esa".
Tetapi perdebatan tentang hal tersebut muncul kembali pada tahun 1950-1959, dan pada  setelah lengsernya Presiden Suharto dan munculnya Reformasi pada tahun 1998 sampai sekarang.

Mohammad Natsir menyebut Piagam Jakarta sebagai tonggak sejarah bagi tercapainya cita-cita Islam di bumi Indonesia. Sayang, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, ikhtiar umat Islam Indonesia untuk menegakkan syariat Islam lewat Piagam Jakarta yang sebelumnya disepakati oleh tokoh-tokoh nasional, ditelikung di tengah jalan. Natsir menyebut penghapusan tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan. Terhadap peristiwa pahit itu, Natsir mengatakan," insya Allah umat Islam tidak akan lupa!"

Jakarta, Jalan Pegangsaan 65, 17 Agustus 1945. Para aktivis dan pejuang kemerdekaan berkumpul. Naskah proklamasi yang masih berbentuk tulisan tangan siap dibacakan. Soekarno berdiri di depan mikropon didampingi Mohammad Hatta, membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat menyambut gegap gempita. Menyemut di jalan-jalan sambil meneriakkan secara serempak satu kata: Merdeka!

Tetapi tahukah Anda? Ada peristiwa penting yang tidak diketahui oleh sebagian orang, terutama generasi bangsa saat ini, bahwa detik-detik jelang pembacaan naskah proklamasi, upacara dimulai dengan pembacaan UUD 1945 yang berlandaskan Piagam Jakarta. Pembacaan itu dilakukan oleh Dr Moewardi yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Panitia Suwirjo, kemudian setelah diawali pidato singkat, barulah Soekarno membacakan naskah proklamasi. Keterangan ini dikutip oleh Ridwan Saidi dari buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis oleh Sidik Kertapati.


Pembacaan proklamasi kemerdekaan RI.

Dan tahukah Anda? Ketika proklamasi dibacakan, tak ada satupun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Seharusnya, dalam suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir dalam acara tersebut. Ada dugaan, ketidakhadiran kelompok Kristen itu dikarenakan keberatan mereka terhadap Piagam Jakarta yang diduga bakal dibacakan Soekarno dalam proklamasi kemerdekaan. Sementara tokoh-tokoh yang hadir ketika itu adalah: Mohammad Hatta, KH A Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Soekarjo Wirjopranoto, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Dr Radjiman Wedyoningrat, Soewirjo, Ny. Fatmawati, Ny. SK Trimurti, Abdul Kadir (PETA), Daan Jahja (PETA), Latif Hendraningrat (PETA), Dr. Sutjipto (PETA), Kemal Idris (PETA), Arifin Abdurrahman (PETA), Singgih (PETA), Dr Moewardi, Asmara Hadi, Soediro Soehoed Sastrokoesoemo, Djohar Noer, Soepeno, Soeroto (Pers), S.F Mendoer (Pers), Sjahrudin (Pers).

Kenapa kalangan Kristen tak menghadiri acara penting dan sangat bersejarah itu? Belakangan diketahui, para aktivis Kristen itu sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis. Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka sangat menusuk perasaan golongan Kristen.

Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja, dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini juga menjadi tanggungjawab mahasiswa.

Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh kristen indonesia Timur

Singkat kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB. Belakangan diketahui, mulur-nya rapat tersebut disebabkan terjadinya perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim. Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang.

Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang utusan untuk turut dalam lobi yang bernama Teuku Muhammad Hassan.

Seperti dikutip dalam buku R.M.A.B Kusuma, "Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan", Ki Bagus Hadikusumo bahkan lebih tegas lagi meminta kata-kata "bagi pemeluk-pemeluknya" ditiadakan, sehingga berbunyi: "Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam." Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariat Islam harus berlaku secara umum di Indonesia.

Lobi yang berlangsung sengit tak juga meluluhkan pendirian Ki Bagus Hadikusumo. Lobi-lobi dan bujukan dari utusan Soekarno Teuku Muhammad Hassan dan tokoh sekaliber KH A Wahid Hasyim pun tak mampu mengubah pendiriannya. Di sinilah peran Kasman Singodimejo yang sesama orang Muhammadiyah, melakukan pendekatan secara personal dengan Ki Bagus.

Dalam memoirnya yang berjudul 'Hidup Adalah Perjuangan', Kasman menceritakan aksinya melobi Ki Bagus. Dengan bahasa Jawa yang sangat halus, ia mengatakan kepada Ki Bagus:

"Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?! Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol. Kiai, di dalam rancangan Undang-undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit! Kiai, tidakkah bijaksanaan jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT." (Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982).

Kepada Ki Bagus Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Hatta, bahwa kata "Ketuhanan" ditambah dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa." KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah SWT, bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. "Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
Alkhulasah, dalam hitungan kurang dari 15 menit seperti diceritakan oleh Hatta, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Setelah itu Hatta masuk ke dalam ruang sidang Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan membacakan empat perubahan dari hasil lobi tersebut. Berikut hasil perubahan kemudian disepakati sebagai preambule dan batang tubuh UUD1945 yang saat ini biasa disebut dengan UUD 45:

– Pertama, kata "Mukaddimah" yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata "Pembukaan".
– Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan," negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
– Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata "dan beragama Islam".
– Keempat, terkait perubuahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi, "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai ganti dari, "Negara berdasarkan atas Ketuhan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya."

Inilah musibah terbesar bagi umat Islam di negeri ini. Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dengan sedih dan perih mengatakan, "Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa ini, kemudian di dalam rapat "Panitia Persiapan Kemerdekan" pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya? Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi?"

Selain Prawoto, tokoh Masyumi lainnya seperti KH M. Isa Anshari dan Mohammad Natsir juga merasakan keperihan serupa. Isa Anshari menyebut peristiwa itu sebagai kejadian yang mencolok mata, yang dirasakan seperti "permainan sulap" dan pat-gulipat politik yang diliputi kabut rahasia. Sementara Natsir mengatakan, penghapusan tujuh kata tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan. Natsir menegaskan, peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah peristiwa sejarah yang tak bisa dilupakan. "Menyambut proklamasi tanggal 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, tanggal 18 Agustus, kita istighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa," kata Natsir.

Siapa orang yang paling bertanggungjawab dalam penghapusan tujuh kata tersebut? R.M.A.B Kusuma dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004) mengatakan, "Bung Hatta adalah orang yang paling bertanggungjawab terhapuskannya "tujuh kata" dari Piagam Jakarta. Beliau konsisten mengikuti ajaran yang dianutnya. Beliau menghapus "tujuh kata" tanpa berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang menyusun "perjanjian luhur" Piagam Jakarta, yakni: K.H Wachid Hasjim, K.H Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Beliau hanya berunding dengan Ki Bagus Hadikusumo yang bukan penyusun Piagam Jakarta dengan janji bahwa hal itu akan dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk. Pertimbangan beliau hanya didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan dari Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan Indonesia Timur yang resmi, yakni D.G Ratulangie, M.r J. Latuharhary, Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Mr Ketut Pudja."

Dalam buku tersebut Kusuma juga mengatakan, ikhtiar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dilakukan Hatta, yang mengaku mendapat desakan dari kelompok Kristen di Indonesia Timur, tak lain makin memperlihatkan sikap dan keyakinan politik Hatta yang sekular, yang berusaha memisahkan "urusan agama" dan "urusan negara". Hatta, kata Kusuma, bahkan tidak pernah mengucapkan kata-kata yang identik dengan Islam, seperti Allah Subhana wa Ta'ala, Alhamdulillah, dan sebagainya.

Kusuma juga menuliskan keterangan yang berbeda dengan buku-buku sejarah dan pernyataan Kaman Singodimejo yang menyebut KH A Wahid Hasyim ikut dalam lobi untuk menghapuskan tujuh kata tersebut. Kusuma mengatakan, saat lobi terjadi KH A Wahid Hasyim sedang berpergian ke Surabaya. "Keterangan Bung Hatta bahwa pada tanggal 18 Agustus 1945 beliau telah berunding dengan KH A Wahid Hasyim tidak sesuai dengan kenyataan," tegas Kusuma. Selain itu, tokoh Masyumi Prawoto Mangkusasmito juga menyangsikan kehadiran KH A Wahid Hasyim dalam lobi tersebut.

Kronologis penghapusan 7 kata versi Hatta

Sikap Hatta yang mengambil ikhtiar sendiri melakukan lobi-lobi politik dengan tokoh-tokoh yang bukan penandantangan Piagam Jakarta juga dipertanyakan dengan keras oleh KH Isa Anshari,

BACA JUGA  Tjahjo Kumolo: Ormas Islam Harus Sesuai dengan Quran dan Hadits
"Benarkah langkah Hatta tersebut dilakukan atas keberatan kalangan Kristen dari Indonesia bagian Timur sebagaimana disampaikan melalui opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang)? Tapi kenapa Hatta sendiri tidak melibatkan A.A Maramis yang Kristen dan menjadi salah satu penandatangan Piagam Jakarta, juga tidak mengajak serta minta persetujuan K.H Wachid Hasyim dan H. Agus Salim yang juga penandatangan Piagam Jakarta yang mewakili kalangan Islam? Kenapa Hatta malah melobi Ki Bagus Hadikusumo yang tidak menjadi penandatangan Piagam Jakarta?

Untuk menepis segala tudingan itu, belakangan Hatta menceritakan kronologis peristiwa penghapusan tujuh kata tersebut dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia:

"Pada sore hari (Tanggal 17 Agustus 1945) aku menerima telepon dari Tuan Nishijima, pembantu Admiral Maeda menanyakan dapatkah aku menerima seorang Opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku persilahkan mereka datang. Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil Protestan dan Katholik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat pembukaan Undang-undang Dasar yang berbunyi: Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengikat rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar, berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika "diskriminasi" itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia…

Opsir tadi mengatakan, bahwa itu adalah pendirian dan perasaan pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun. Mungkin waktu itu Mr AA Maramis cuma memikirkan, bahwa bagian kalimat itu hanya untuk Rakyat Islam yang 90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi…

Karena Opsir Angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semboyan yang selama ini didengung-dengungkan "Bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh", perkataannya itu berpengaruh juga atas pandanganku. Tergambar di mukaku perjuanganku yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia merdeka, bersatu dan tidak berbagi-bagi. Apakah Indonesia merdeka yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatra akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik divide et impera, politik memecah dan menguasa. Setelah aku terdiam sebentar, kukatakan kepadanya, bahwa esok hari dalam sidang panitia persiapan kemerdekaan akan ku kemukakan masalah yang sangat penting itu. Aku minta ia menyabarkan sementara pemimpin Kristen yang berhati panas dan berkeras kepala itu, supaya mereka jangan terpengaruh oleh propaganda Belanda…"

Benarkah keterangan Hatta yang mengatakan ada opsir Jepang, yang datang membawa pesan penting dari kelompok Kristen di Indonesia
Kenapa pesan dan peristiwa penting dalam pertemuan Hatta dengan opsir Jepang itu memunculkan pengakuan Hatta yang sangat naif bahwa dirinya lupa tentang nama opsir tersebut? Sebuah logika sederhana akan mengatakan, jika ada seorang yang membawa pesan penting, apalagi ini menyangkut masalah bangsa dan akan mempengaruhi sejarah bangsa ke depan, tentu Anda akan bertanya nama dari pembawa pesan tersebut. Sebagai sebuah bukti adanya pertemuan itu, seharusnya Hatta mencatat nama Opsir Jepang itu!

Karena Hatta mengaku lupa nama Opsir itu, padahal peristiwa sejarah yang sangat penting membutuhkan detil peristiwa yang valid, maka tak heran jika ada yang meragukan keterangan Hatta soal opsir Jepang itu?

Menurut Ridwan Saidi, seperti dikutip dari Dr Sujono Martosewojo dkk, dalam buku "Mahasiswa '45 Prapatan 10", anggapan bahwa ada opsir Jepang yang datang ke rumah Hatta pada petang hari tanggal 18 Agustus 1945 kemungkinan karena kesalahpahaman saja. Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang menemani Piet Mamahit menemui Hatta memang berpostur tinggi, rambut pendek, mata sipit, dan suka berpakaian putih-putih. Iman Slamet inilah yang kemungkinan dikira sebagai opsir Jepang oleh Hatta.

Seperti ditulis di atas, bahwa Dr Sam Ratulangib mendatangi kelompok mahasiswa Prapatan pada pukul 12.00, tanggal 17 Agustus 1945, dan meminta mereka untuk terlibat dalam usaha penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kemudian mahasiswa itu menghubungi Hatta, dan Hatta mengatur pertemuan pada sore harinya, maka keterangan Hatta soal adanya pertemuan dengan opsir Jepang, yang ia lupa namanya, diragukan. Karena itu dalam sebuah diskusi tentang Piagam Jakarta, Ridwan Saidi mengatakan, "dengan segala hormat saya pada Bung Hatta
dia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus Piagam Jakarta saya harus mengatakan bahwa dia berdusta."

Penelitian Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku yang diterbitkan di Cornell University AS, yang mengatakan bahwa dalang di balik sosok misterius opsir Jepang itu adalah Dr Sam Ratulangi, yang disebut dalam buku itu sebagai an astute Christian politician from Manado, North Sulawesi (Seorang politisi Kristen yang licik dari Sulawesi Utara).

Umat Islam dan bangsa ini sampai saat ini masih menyimpan pertanyaan besar, kenapa Hatta memilih berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang bukan penandatangan Piagam Jakarta? Kenapa pula Hatta tidak berunding dengan tokoh Kristen penandantangan Piagam Jakarta, dan lebih memilih mendengarkan "pesan" yang menurutnya disampaikan opsir Jepang tersebut? Selubung kabut sejarah ini harus diungkap, demi sebuah kejujuran sejarah, demi kebenaran sesungguhnya!

Kisah Kasman Singodimejo dan Terhapusnya Piagam Jakarta

Seperti diceritakan di atas, karena lobi personal ala Kasman Singodimejo yang diminta untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu yang tetap keukeuh dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, diktum soal kewajiban menjalankan syariat Islam dihapuskan.

Kasman, seperti ditulis dalam memoirnya mengatakan, sikap itu diambil karena tokoh-tokoh saat itu tidak mau negeri yang baru saja diproklamirkan kemerdekaannya pecah karena perdebatan soal tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Apalagi, ada konsesi, tujuh kata itu diganti dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa", yang dalam pengertian Kasman identik dengan Islam.

Dalam memoirnya Hidup Adalah Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo, ia menceritakan, kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta sebagai anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah atas permintaan Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa barat. Sebagai Panglima Tentara saat itu, ia ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk tidak jatuh ke tangan Jepang

Setelah sukses melobi Ki Bagus Hadikusumo dan rapat memutuskan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, malam harinya Kasman gelisah tak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tak bicara, diam membisu:

"Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan.Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.

Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalah pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?

malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, sayapun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?"

Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.

Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu. "Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya," kata Kasman sambil menetaskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.

Seolah ingin mengobati rasa bersalah penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi "Singodimejo" tetapi berubah menjadi "Singa di Podium" yang menuntut kembalinya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara.

Berikut kutipan pidatonya:

"Saudara ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tent-tentu itu ialah Dewan Kosntituante ini! Justru itulah yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam pandangan umum babak pertama.

Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putera Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…

Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada "janji" yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini….

Saudara ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, saudara ketua, dimanakah kami golongan Islam menuntut penunaian "janji" tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr. Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!

Saudara ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah difait-a complikan dengan suatu janji dan/atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan yang permanen, saudara ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini difait-a complikan lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a compli semacam itu sekali ini, saudara ketua, hanya akan memaksa dada meledak!"

Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat berapi-api mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar biasa. Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila.

Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti "air dalam tempayan", yang diambil diangsur, digali dari "mata air" atau sumber yang universal itu, yaitu Islam.

Kasman mengatakan, "Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, "si penggali," air dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya sebagai supergeloof yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!"

-PROFIL DAN BIOGRAFI Drs. H MOHAMMAD HATTA

Nama Lengkap
Dr. (H.C) Drs. H. Mohammad Hatta
Alias
Bung Hatta
Agama - Islam
Tempat Lahir - Bukittinggi, Sumatera Barat
Tanggal Lahir - Selasa, 12 Agustus 1902
Zodiak - Leo
Warga Negara - Indonesia
Istri - Rahmi Rachim
Anak - Meutia Farida Hatta Swasono, Gemala Hatta, Halida Hatta

-BIOGRAFI
Dr. H. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Pria yang akrab disapa dengan sebutan Bung Hatta ini merupakan pejuang kemerdekaan RI yang kerap disandingkan dengan Soekarno. Tak hanya sebagai pejuang kemerdekaan, Bung Hatta juga dikenal sebagai seorang organisatoris, aktivis partai politik, negarawan, proklamator, pelopor koperasi, dan seorang wakil presiden pertama di Indonesia.

Kiprahnya di bidang politik dimulai saat ia terpilih menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond wilayah Padang pada tahun 1916. Pengetahuan politiknya berkembang dengan cepat saat Hatta sering menghadiri berbagai ceramah dan pertemuan-pertemuan politik. Secara berkelanjutan, Hatta melanjutkan kiprahnya terjun di dunia politik. 

Sampai pada tahun 1921 Hatta menetap di Rotterdam, Belanda dan bergabung dengan sebuah perkumpulan pelajar tanah air yang ada di Belanda, Indische Vereeniging. Mulanya, organisasi tersebut hanyalah merupakan organisasi perkumpulan bagi pelajar, namun segera berubah menjadi organisasi pergerakan kemerdekaan saat tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumu) bergabung dengan Indische Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Di Perhimpunan Indonesia, Hatta mulai meniti karir di jenjang politiknya sebagai bendahara pada tahun 1922 dan menjadi ketua pada tahun 1925. Saat terpilih menjadi ketua PI, Hatta mengumandangkan pidato inagurasi yang berjudul "Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan".

Dalam pidatonya, ia mencoba menganalisa struktur ekonomi dunia yang ada pada saat itu berdasarkan landasan kebijakan non-kooperatif. Hatta berturut-turut terpilih menjadi ketua PI sampai tahun 1930 dengan perkembangan yang sangat signifikan dibuktikan dengan berkembangnya jalan pikiran politik rakyat Indonesia.

Sebagai ketua PI saat itu, Hatta memimpin delegasi Kongres Demokrasi Internasional untuk perdamaian di Berville, Perancis, pada tahun 1926. Ia mulai memperkenalkan nama Indonesia dan sejak saat itu nama Indonesia dikenal di kalangan organisasi-organisasi internasional. Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda dan berkenalan dengan aktivis nasionalis India, Jawaharhal Nehru.

Aktivitas politik Hatta pada organisasi ini menyebabkan dirinya ditangkap tentara Belanda bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul madjid Djojodiningrat sebelum akhirnya dibebaskan setelah ia berpidato dengan pidato pembelaan berjudul: Indonesia Free. 

Selanjutnya pada tahun 1932, Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia dengan adanya pelatihan-pelatihan.

Pada tahun 1933, Soekarno diasingkan ke Ende, Flores. Aksi ini menuai reaksi keras oleh Hatta. Ia mulai menulis mengenai pengasingan Soekarno pada berbagai media. Akibat aksi Hatta inilah pemerintah kolonial Belanda mulai memusatkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia dan menangkap pimpinan para pimpinan partai yang selanjutnya diasingkan ke Digul, Papua.

Pada masa pengasingan di Digul, Hatta aktif menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin membaca buku yang ia bawa dari Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya. Selanjutnya, pada tahun 1935 saat pemerintahan kolonial Belanda berganti, Hatta dan Sjahrir dipindahlokasikan ke Bandaneira. Di sanalah, Hatta dan Sjahrir mulai memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, politik, dan lainnya.

Setelah delapan tahun diasingkan, Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi pada tahun 1942. Selang satu bulan, pemerintah kolonial Belanda menyerah pada Jepang. Pada saat itulah Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada awal Agustus 1945, nama Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua.

Sehari sebelum hari kemerdekaan dikumandangkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan rapat di rumah Admiral Maeda. Panitia yang hanya terdiri dari Soekarno, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti tersebut merumuskan teks proklamasi yang akan dibacakan keesokan harinya dengan tanda tangan Soekarno dan Hatta atas usul Soekarni.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan Pagesangan Timur 56 tepatnya pukul 10.00 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hatta sebagai Wakil Presiden.

Berita kemerdekaan Republik Indonesia telah tersohor sampai Belanda. Sehingga, Belanda berkeinginan kembali untuk menjajah Indonesia. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, pemerintahan Republik Indonesia dipindah ke Jogjakarta. Ada dua kali perundingan dengan Belanda yang menghasilkan perjanjian linggarjati dan perjanjian Reville. Namun, kedua perjanjian tersebut berakhir kegagalan karena kecurangan Belanda.

Pada Juli 1947, Hatta mencari bantuan ke India dengan menemui Jawaharhal Nehru dan Mahatma Gandhi. Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan melakukan protes terhadap tindakan Belanda dan agar dihukum pada PBB. Banyaknya kesulitan yang dialami oleh rakkyat Indonesia memunculkan aksi pemberontakan oleh PKI sedangkan Soekarno dan Hatta ditawan ke Bangka. Selanjutnya kepemimpinan perjuangan dipimpin oleh Jenderal Soedirman.

Perjuangan rakyat Indonesia tidak sia-sia. Pada tanggal 27 desembar 1949, Ratu Juliana memberikan pengakuan atas kedaulatan Indonesia kepada Hatta.

Setelah kemerdekaan mutlak Republik Indonesia, Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan. Dia juga masih aktif menulis berbagai macam karangan dan membimbing gerakan koperasi sesuai apa yang dicita-citakannya. Tanggal 12 Juli 1951, Hatta mengucapkan pidato di radio mengenai hari jadi Koperasi dan selang hari lima hari kemudian dia diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia.

Hatta menikah dengan Rachim Rahmi pada tanggal 18 November 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Pasangan tersebut dikaruniai tiga orang putri yakni Meutia, Gemala, dan Halida.

Pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta wafat di RSUD dr. Cipto Mangunkusumo. Karena perjuangannya bagi Republik Indonesia sangat besar, Hatta mendapatkan anugerah tanda kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" yang diberikan oleh Presiden Soeharto.

Riset dan analisa oleh Atiqoh Hasan.

Pendidikan
Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia (1921)
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang (1919)
Europeesche Lagere School (ELS), Padang, 1916
Sekolah Dasar Melayu Fort de kock, Minangkabau (1913-1916)
Karir
Ketua Panitia Lima (1975)
Penasihat Presiden dan Penasehat Komisi IV (1969)
Dosen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta (1954-1959)
Dosen Sesko Angkatan darat, Bandung (1951-1961)
Wakil Presiden, Perdana menteri, dan Menteri Luar Negeri NKRIS (1949-1950)
Ketua delegasi Indonesia Konferensi Meja Bundar, Den Haag (1949)
Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan (1948-1949)
Wakil Presiden RI pertama (1945)
Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (1945)
Wakil Ketua Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (1945)
Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (1945)
Kepala Kantor Penasehat Bala Tentara Jepang (1942)
Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
Wakil Delegasi Indonesia Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
Ketua Perhimpunan Indonesia, Belanda (1925-1930)
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
Partai Nasional Indonesia

Organisasi:
Club pendidikan Nasional Indonesia
Liga menentang Imperi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar