Selasa, 30 Oktober 2018

07181310280-jawaban saya

1. Siapakah yang menghapus 7 kata dalam piagam jakarta yang menjadikannya sila pertama "ketuhanan yang maha esa"?
Jawab : a) Drs. H. Mohammad Hatta      b) K.H. Wachid Hasyim
c) Ki Bagus Hadikusumo
d) Mr. Kasman Singodimejo
e) Teuku M. Hasan.

2. Sebutkan profil penghapus sila pertama versi piagam Jakarta? 
Jawab:  
a) Drs. H. Mohammad Hatta

Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Agama : Islam
Orang Tua : Muhammad Djamil (ayah), Siti Saleha (ibu)
Istri : Rahmi Rachim
Anak : Meutia Hatta, Halida Hatta, Des Alwi, Gemala Hatta
Pendidikan : Universitas Erasmus Rotterdam Belanda

Banyak buku yang mengulas megenai Biografi dan Profil Mohammad Hatta. Disebutkan bahwa Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya yang bernama Siti Saleha. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan.Mohammad Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Ia memulai pendidikan dasarnya di ELS (Europeesche Lagere School). Sejak duduk di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
   Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
   Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.
Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan.

   Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

   Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra'jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.ada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra'jat.

b) KH. A. Wahid Hasyim

   KH. Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, khususnya sejarah Islam di Indonesia. Beliau merupakan pendiri Partai Nahdlatul Ulama (NU), pernah menjabat sebagai Menteri Agama, dan anggota BPUPKI serta salah seorang penandatangan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yaitu preambul UUD Republik Indonesia yang ditandatangani pada 22 Juni 1945 di Jakarta. 

   Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 Juni 1914. Ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah seorang ulama besar dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Sejak kecil ia belajar di pesantren Tebuireng dan berbagai pesantren lainnya, bahkan sampai ke Mekah saat berusia 18 tahun. Ia sangat giat belajar dan memiliki hobi membaca yang sangat kuat. Ia memperdalam ilmunya dengan berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa asing. Ia memang merupakan pribadi yang cerdas dan seorang otodidak yang hebat. 

   Pada waktu berumur 24 tahun ia mulai aktif di organisasi NU dan tahun berikutnya ia diangkat menjadi anggota Pengurus Besar NU. Pada tahun itu juga ia dipilih menjadi Ketua MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi sejumlah organisasi sosial-politik Islam dan wadah persatuan umat Islam. Ia terpilih kembali sebagai ketua dewan dalam Kongres Muslimin Indonesia, yang merupakan kelanjutan MIAI. Tetapi organisasi ini dibubarkan oleh jepang pada 1943 dan tidak lama kemudian berdiri wadah baru bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). 

   Saat itu pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Shumubu, yaitu badan urusan agama Islam yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua. Tetapi  Wahid Hasyim yang kemudian ditunjuk sebagai pimpinan disana mewakili ayahnya yang tidak bisa meninggalkan Jawa Timur. Badan ini yang menjelma menjadi Departemen Agama setelah Indonesia merdeka.

   Sebelum meninggalkan Indonesia, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai  atau Badan Penyelirik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Wahid Hasyim ditunjuk sebagai salah satu anggotanya. Setelah sidang pertama, dibentuk panitia kecil yang terdiri atas sembilan orang yang dipilih, salah satunya adalah Wahid Hasyim. Tokoh lainnya adalah Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin. Panitia kecil ini berhasil mencapai suatu modus vivendi antara dua kelompok yang berbeda pendapat, yaitu pihak nasionalis dan Islam mengenai dasar negara. Panitia Sembilan ini menyetujui rancangan preambul UUD Republik Indonesia yang mereka tandatangani pada 22 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta.


Setelah berakhir masa revolusi dan Indonesia mendapat kedaulatan, Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Hatta (20 Desember 1949 - 6 September 1950) dan menduduki jabatan yang sama dalam dua kabinet berikutnya; Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951) dan Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952). Banyak langkah penting yang ia lakukan sebagai Menteri Agama, antara lain; mewajibkan pendidikan agama di lingkungan sekolah umum, mendirikan sekolah guru agama, pendirian Perguruan Tinggi Agama Silam Negeri pada 15 Agustus 1951 yang berkembang menjadi 14 Institut Agama Islam negeri (IAIN) di 14 propinsi, dan lain-lain.

   Saat itu Wahid Hasyim duduk sebagai Ketua Muda II Dewan Partai Masyumi, yang merupakan satu-satunya partai politik Islam. Tetapi ia sering mengkritik kepemimpinan PB Masyumi yang dianggap terlalu lemah. Hingga dalam kongres NU di Palembang pada April 1952, dimana ia bertindak sebagai pemimpin Kongres, NU memutuskan untuk lepas dari Masyumi dan mengembangkan diri menjadi partai politik. Sebelumnya NU merupakan anggota istimewa partai Masyumi.

   Wahid Hasyim meninggal dunia pada 15 April 1953 dalam usia muda, belum genap 40 tahun. Beliau meninggal dalam sebu

c)  Ki Bagus Hadikusumo

Ki Bagoes Hadikoesoemo atau biasa dikenal dengan Ki Bagus Hadikusumo (lahir di Yogyakarta, 24 November 1890 – meninggal di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 63 tahun) adalah seorang tokoh BPUPKI.

   Beliau dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1308 H (24 November 1890). Ki Bagus adalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta.

   Ia mendapat pendidikan sekolah rakyat (kini SD) dan pendidikan agama di pondok pesantren tradisional Wonokromo Yogyakarta. Kemahirannya dalam sastra Jawa, Melayu, dan Belanda didapat dari seorang yang bernama Ngabehi Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga belajar bahasa Inggris dari seorang tokoh Ahmadiyah yang bernama Mirza Wali Ahmad Baig.

Di Muhammadiyah:

   Selanjutnya Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadijah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Ia sempat pula aktif mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul. Selain itu, bersama kawan-kawannya ia mendirikan klub bernama Kauman Voetbal Club (KVC), yang kelak dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW).

    Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa Jepang untuk menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Ki Bagus menggantikan posisi ketua umum yang ditinggalkannya. Posisi ini dijabat hingga tahun 1953. Semasa menjadi pemimpin Muhammadiyah, ia termasuk dalam anggota BPUPKI dan PPKI.

   Ki Bagus aktif membuat karya tulis, antara lain Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). Setelah meninggal, Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.

d)  Mr. Kasman Singodimedjo 

    Mr. Kasman Singodimedjo (lahir di Poerworedjo, Jawa Tengah, 25 Februari 1904 – meninggal di Jakarta, 25 Oktober 1982 pada umur 78 tahun) adalah Jaksa Agung Indonesia periode 1945 sampai 1946  dan juga mantan Menteri Muda Kehakiman  pada Kabinet Amir Sjarifuddin II. Selain itu ia juga adalah Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjadi cikal bakal dari DPR. 

  Salah satu komponen yang memiliki kontribusi terhadap keberhasilan perjuangan tersebut adalah Jong Islamieten Bond (JIB). Di antara tokoh yang ikut membesarkan organisasi ini adalah Kasman Singodimejo. Kasman lahir pada tanggal 25 Februari 1908 di Purworejo, Jawa Tengah. Ayahnya adalah H. Singodimejo, yang pernah menjabat sebagai modin (penghulu), carik (sekretaris desa) dan Polisi Pamongpraja di Lampung Tengah. Pendidikan Kasman yang pertama di sekolah desa di Purworejo, kemudian ia melanjutkan ke Hollanda Indische School (HIS) di Kwitang Jakarta. Ia pindah ke HIS Kutoarjo, yang kemudian dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Magelang. Selain menuntut ilmu, Kasman juga belajar pengetahuan agama kepada K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Abdul Aziz. Setelah menyelesaikan pendidikannya di MULO, Kemudian dilanjutkan ke School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta. Aktivitasnya dalam organisasi dimulai ketika masih belajar di STOVIA dengan masuk dalam organisasi Jong Java. Dalam organisasi ini ia berjuang untuk menjadikan Islam sebagai landasan perjuangan dengan alasan sebagian besar anggotanya beragama Islam. Namun usul tersebut ditolak oleh pimpinan Jong Java, kemudian dengan Syamsuridjal, Ki Musa al-Mahfudz dan Suhodo, Kasman mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) dengan ketua pertamanya Syamsuridjal (1925-1926). Di tahun 1926-1930 Wiwoho Probohadidjoyo dan pada tahun 1930-1935 Kasman menjabat sebagai Ketua Umum JIB. Pada tahun 1937 Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI) berdiri sebagai wadah baru bagi perjuangan umat Islam. Pada tahun 1941, Kasman diangkat sebagai agronom pada dinas penerangan pertanian sampai tahun 1943, ketika muncul fase baru yakni pendudukan militer Jepang. Jepang memberikan angin segar kepada MIAI untuk mengembangkan kegiatan umat Islam. Sementara itu Jepang ingin memanfaatkan MIAI untuk kepentingannya. Melihat maksud Jepang tersebut, MIAI dibubarkan, selanjutnya dibentuklah wadah baru bagi umat Islam Indonesia yakni Majlis Syuro Muslimin (Masyumi).

e)  Tengku M. Hasan

Teuku Muhammad Hasan

Teuku Muhammad Hasan adalah Gubernur Wilayah Sumatera Pertama[1] setelah Indonesia merdeka , Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1948 hingga tahun 1949 dalam Kabinet Darurat[2]. Selain itu ia adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Kehidupan Awal

Teuku Muhammad Hasan dilahirkan tanggal 4 April 1906 sebagai Teuku Sarong, di Sigli, Aceh. Ayahnya, Teuku Bintara Pineung Ibrahim adalah Ulèë Balang di Pidie (Ulèë Balang adalah bangsawan yang memimpin suatu daerah di Aceh). Ibunya bernama Tjut Manyak.

   Dia bersekolah di Sekolah Rakyat (Volksschool) di Lampoeh Saka 1914-1917. Pada tahun 1924 bersekolah di sekolah berbahasa Belanda Europeesche Lagere School (ELS), dilanjutkan ke Koningen Wilhelmina School (KWS) di Batavia (sekarang Jakarta). Kemeudian beliau masuk Rechtschoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).

Masa-masa di Belanda

Pada usia 25 tahun, T.M Hasan memutuskan untuk bersekolah di Leiden University, Belanda. Selama di Belanda, beliau bergabung dengan Perhimpunan Indonesia yang dipelopori oleh Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid Djojodiningrat dan Nasir Datuk Pamuntjak. Selain kesibukannya sebagai mahasiswa, Hasan juga menjadi aktifis yang mengadakan kegiatan-kegiatan organisasi baik di dalam kota maupun di kota-kota lain di Belanda hasan mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Master of Laws) tahun 1933.

Kembali ke Tanah Air 

Pada tahun 1933, Mr. T.M Hasan kembali ke Indonesia. Setiba di pelabuhan Ulee Lheue, Kutaraja, buku-bukunya disita untuk pemeriksaan karena dicurigai terdapat buku paham pergerakan yang akan membahayakan kedudukan pemerintah kolonial Belanda, khususnya di Aceh. Selama di Kutaraja, Hasan menjadi Pegiat di bidang Agama dan Pendidikan.

   Selain itu, Hasan juga menjadi komisaris organisasi pendidikan yang bernama Perkumpulan Usaha Sama Akan Kemajuan Anak (PUSAKA). Tujuan organisasi ini adalah untuk mendirikan sebuah sekolah rendah berbahasa Belanda seperti Hollandsch-Inlandsche School.

   Aktifitas kependidikan Hasan yang lain ialah mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja pada tanggal 11 Juli 1937. Dalam kepengurusan lembaga yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara ini, Hasan menjadi ketua dengan sekretaris Teuku Nyak Arief. Sesaat setelah pembentukannya, Hasan mengirim utusannya yaitu, Teuku M. Usman el Muhammady untuk menemui Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Tujuannya adalah memohon agar Taman Siswa memperluas jaringannya, yakni dengan mendirikan cabang di Aceh. Berdasarkan permohonan tersebut, Majelis Luhur Taman Siswa mengirim tiga orang guru ke Aceh, yaitu Ki Soewondo Kartoprojo beserta istrinya yang juga sebagai guru dan Soetikno Padmosoemarto. Dalam waktu yang relatif singkat, Hasan dan pengurus Taman Siswa di Kutaraja berhasil membuka 4 (empat) sekolah Taman Siswa di Kutaraja, yaitu sebuah Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara dan Taman Dewasa.

  Berkat pengalaman di bidang pendidikan tersebut, Hasan memutuskan pergi ke Batavia dan bekerja sebagai pengawai di Afdeling B, Departemen Van Van Onderwijsen Eiredeienst (Departemen Pendidikan). Selain itu, ia juga pernah menjadi pegawai di kantor Voor Bestuurshervarming Buintengewesten. Kemudian pada tahun 1938, Hassan kembali lagi ke Medan untuk bekerja pada kantor Gubernur Sumatera sampai tahun 1942. Pada era penjajahan Jepang ini, yakni antara tahun 1942 sampai 1945, Hasan tetap berada di Medan dan bekerja sebagai Ketua Koperasi Ladang Pegawai Negeri di Medan, kemudian menjadi Penasehat dan Pengawas Koperasi Pegawai Negeri di Medan dan Pemimpin Kantor Tinzukyoku (Kantor permohonan kepada Gunsaibu) di Medan. Ketika Jepang hendak angkat kaki dari Aceh tahun 1945, Hasan adalah sedikit dari tokoh-tokoh Aceh yang memiliki kesadaran kebangsaan dan bersedia bergabung dengan para nasionalis di Jakarta. Pada 7 Agustus 1945 Mr. Teuku Muhammad Hasan dipilih menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno.


3. Sebutkan alasan penghapusan 7 kata Piagam Jakarta?

Jawab:  karena pada saat itu para aktivis Kristen itu sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah itu didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis. Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka sangat menusuk perasaan golongan Kristen. Kemudian Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja, dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini juga menjadi tanggungjawab mahasiswa. Lalu Kepada Ki Bagus Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Hatta, bahwa kata "Ketuhanan" ditambah dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa." KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah SWT, bukan yang lainnya.. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. "Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa," kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar