Hukuman Pidana Mati bagi Koruptor
Korupsi adalah penyakit yang sulit untuk diberantas. Adanya aturan hukum yang keras tidak menjadikan seorang koruptor menjadi takut untuk melakukan korupsi. Korupsi tidak saja berkait dengan masalah hukum murni semata, tetapi juga menyangkut masalah moral, etika, serta budaya walau hal ini masih dalam taraf perdebatan. Korupsi dan penerapaan sanksi hukum menarik untuk dikaji setidaknya disebabkan oleh beberapa Hal: pertama, bahwa korupsi menjadi penghambat dari pembangunan yang dilaksanakan. Dengan terjadinya korupsi maka terjadi pula ekonomi biaya tinggi. Kedua, terkait dengan terjadinya korupsi, maka pelaksanaan aturan hukum yang berusaha menjerat para koruptor juga telah memberikan ancaman yang berat, berupa penjatuhan sanksi pidana mati. Akan tetapi dalam konteks pelaksanaan ancaman tersebut amat jarang dijatuhkan sebagai sanksi pidana. Apakah dengan hal tersebut menjadikan pelaku korupsi semakin bebas berbuat?
Dalam hal terjadinya perbuatan korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman pidana mati sesuai ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Hanya pelaksanaan dari ketentuan pidana ini tidak bersifat mengikat secara hukum, karena adanya kata "dapat". Kata tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa pelaku pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati, bukan pelaku pidana dijatuhi hukuman mati.Pelaksanaan hukuman mati pada hakikatnya memberikan faktor jera bagi pelaku serta memberikan pendidikan bagi pihak lain untuk berbuat hal yang sama. Jika pasal tersebut memberikan kata "dapat", maka putusan diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkan pilihan pidana terhadap pelaku pidana korupsi. Penjatuhan pidana mati bagi pelaku korupsi tentu dikaitkan dengan Hak asasi Manusia atas hidup dan kehidupan. Keengganan hakim untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku pidana korupsi berkait dengan hak yang diterima oleh pelaku kejahatan. Penjatuhan pidana mati ditolak karena pidana mati berkait dengan hidup mati seseorang, bagi kaum moralis hal ini berkait dengan hak Tuhan untuk menentukan kematian seseorang.
Banyak negara yang mulai menghapuskan sanksi mati dalam hukum pidananya, akan tetapi bagi Indonesia hal ini masih perlu untuk dipertahankan. Pidana mati tentunya bersifat paling akhir, tetapi melihat perbuatan korupsi tidak saja merugikan pihak secara individual, maka pidana mati masih logis untuk duipertahankan. Penjatuhan pidana mati tentu tidak saja bersifat memberikan efek jera, tetapi dengan dampak koorupsi yang bersifat menggurita karena menimbulkan gangguan secara ekonomi terhadap keuangan negara, maka hakim harus mulai berfikir alternatif mati sebagai sanksi pidana.
Kesimpulan
Pidana mati merupakan salah satu hukuman bagi koruptor hal ini sebagai mana tercantum dalam undang-undang namun karena hukuman ini hanya bersifat hukuman pilihan maka sangat jarang digunakan sebagai tuntutan bagi pelaku korupsi. Namun apabila hal ini dipandang sebagai salah satu cara untuk membasmi korupsi maka perlu ada permulaan dan realisasi dari hukuman pidana mati bagi koruptor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar