Minggu, 29 April 2018

MENGAPA SESEORANG HARUS MEMILIKI KEWARGANEGRAAN

Mengapa seseorang harus memiliki kewarganegaraan?

   Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan  kartu tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam  menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah setiap orang yang UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WN anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI

1.     anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya

2.     anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut

3.     anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI

4.     anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI

5.     anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin

6.     anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.

7.     anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui

8.     anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya

9.     anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan

10. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

          Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi:

1.     anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing

2.     anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan

3.     anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia

4.     anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.

Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut;

1.     Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia

2.     Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia

Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.

Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.

  Asas kewarganegaraan

  

  Asas kewarganegaraan adalah dasar berpikir dalam menentukan masuk

tidaknya seseorang dalam golongan warga negara dari suatu negara tertentu. Pada

umumnya asas dalam menentukan kewarganegaraan dibedakan menjadi dua,

yaitu:

a. Asas ius sanguinis (asas keturunan), yaitu kewarganegaraan seseorang

ditentukan berdasarkan pada keturunan orang yang bersangkutan. Misalnya,

Seseorang dilahirkan di negara A, sedangkan orang tuanya berkewarganegaraan

negara B, maka ia adalah warga negara B. Jadi berdasarkan asas ini,

kewarganegaraan anak selalu mengikuti kewarganegaraan orang tuanya

tanpa memperhatikan di mana anak itu lahir.

 

b. Asas ius soli (asas kedaerahan), yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan

berdasarkan tempat kelahirannya. Misalnya, seseorang dilahirkan di negara

B, sedangkan orang tuanya berkewarganegaraan negara A, maka ia adalah

warganegara B. Jadi menurut asas ini kewarganegaraan seseorang tidak

terpengaruh oleh kewarganegaraan orang tuanya, karena yang menjadi

patokan adalah tempat kelahirannya.

 

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA DENGAN UUD 45

Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya..

Hak dan Kewajiban merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan tetapi terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang. Bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan penghidupan yang layak, tetapi pada kenyataannya banyak warga negara yang belum merasakan kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya. Semua itu terjadi karena pemerintah dan para pejabat tinggi lebih banyak mendahulukan hak daripada kewajiban. Padahal menjadi seorang pejabat itu tidak cukup hanya memiliki pangkat akan tetapi mereka berkewajiban untuk memikirkan diri sendiri. Jika keadaannya seperti ini, maka tidak ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jika keseimbangan itu tidak ada akan terjadi kesenjangan sosial yang berkepanjangan.

Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga negara harus tahu hak dan kewajibannya. Seorang pejabat atau pemerintah pun harus tahu akan hak dan kewajibannya. Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman sejahtera. Hak dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah seimbang. Apabila masyarakat tidak bergerak untuk merubahnya. Karena para pejabat tidak akan pernah merubahnya, walaupun rakyat banyak menderita karena hal ini. Mereka lebih memikirkan bagaimana mendapatkan materi daripada memikirkan rakyat, sampai saat ini masih banyak rakyat yang belum mendapatkan haknya. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokrasi harus bangun dari mimpi kita yang buruk ini dan merubahnya untuk mendapatkan hak-hak dan tak lupa melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia.

Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi. Pada para pejabat dan pemerintah untuk bersiap-siap hidup setara dengan kita. Harus menjunjung bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Yaitu dengan menjalankan hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang selama ini kurang mendapat kepedulian dan tidak mendapatkan hak-haknya.

Problematika warganegara

Masalah kewarganegaraan erat kaitannya dengan masalah pengakuan atas seseorang sebagai warga negara oleh negaranya. Masalah ini telah lama menjadi masalah yang berlarut-larut bagi bangsa Indonesia. Masalah kewarganegaraan muncul dalam bentuk adanya diskriminasi, kurang terjaminnya hak asasi manusia dan kurang terjaminnya keseimbangan hak antar warga negara. Masalah itu berhubungan dengan masalah warga negara yang merupakan keturunan dari suku-etnis atau ras dari bangsa lain yang oleh sebagian orang dianggap bukan termasuk bagian dari bangsa Indonesia.

 

Demikian intisari dari program Dialog Bersama KHN dengan narasumber Ketua KHN J.E. Sahetapy bersama Dyah Kusminati (dari Perkumpulan Keluarga Perkawinan Campur Melati). Disiarkan live oleh Radio 68 H Jakarta, Rabu, 27 Juli 2006, Pukul 08.06 09.00 WIB.

Dalam perkembangannya, masalah kewarganegaraan juga ditemui pada warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing, yang seringkali menjadi korban dalam hal ini ialah perempuan dan anak-anak yang status kewarganegaraannya menjadi tidak jelas. Menurut Sahetapy, sisi yuridis atau pengaturan hukum terhadap kewarganegaraan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap peliknya masalah kewarganegaraan. Tercatat bahwa sejak Indonesia merdeka, tidak terdapat pengaturan hukum yang bersifat luwes yang mampu mengatasi masalah-masalah kewarnegaraan seperti terjadinya diskriminasi dan lain-lainnya sebagaimana tersebut di atas.Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara merupakan undang-undang pertama yang disahkan oleh negara Republik Indonesia sebagai undang-undang yang mengatur mengenai kewarganegaraan, namun menurut Sahetapy undang-undang itu tidak cukup baik mengatur mengenai kewarganegaraan sehingga diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia. “Undang-undang ini pun diubah kembali dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia,† jelas Sahetapy.

Selanjutnya, mengenai kewarganegaraan diatur oleh Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Undang-undang yang disebutkan terakhir itu tentu tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Terlebih lagi dengan jatuhnya Rezim Presiden Suharto yang menandai masa dimulainya pembaruan hukum besar-besaran di Indonesia termasuk di dalamnya dengan mengamandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,kata Sahetapy.

Oleh karena itu, dengan telah disahkannya Undang-undang tentang Kewarganegaraan pada tanggal 11 Juli 2006, Sahetapy berharap masalah-masalah kewarganegaraan yang selama ini terjadi dapat diminimalisasi. Pengesahan Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini cukup mengharukan karena dihadiri oleh kelompok masyarakat yang selama ini menanti adanya persamaan hak sebagai warga negara, hak untuk dilindungi oleh negara dan hak untuk tidak didiskriminasi, ungkap Guru Besar Emeritus FH Unair ini.

Sahetapy lalu mengatakan, Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini juga mempunyai terobosan mengenai pengertian warga negara dan bangsa Indonesia asli. Terobosan lainnya ialah Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini juga memungkinkan adanya kewarganegaraan ganda secara terbatas, yaitu bagi anak hasil pernikahan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Bagi anak usia dibawah 18 tahun hasil pernikahan transnasional dapat memiliki kewarganegaraan ganda secara terbatas. Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini juga menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang menjadi masalah yang berlarut-larut selama ini.

Dimungkinkan kewarganegaraan ganda secara terbatas selain berdasarkan asas ius solis (berdasarkan tempat kelahiran) dan ius sanguinis (berdasarkan garis darah ayah), yakni berdasarkan asas kewarganegaraan ganda terbatas, yang hanya berlaku bagi mereka dengan kriteria tertentu yakni bagi anak di bawah usia 18 tahun dan belum menikah.

Untuk yang masuk dalam kriteria tersebut, menurut Sahetapy, maka setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, ia berhak menentukan kewarganegaraannya sendiri dalam jangka waktu 3 tahun. Hal itu dimaksudkan dalam Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini agar melindungi keharmonisan keluarga sesuai tuntutan pergaulan internasioal.

Dalam kerangka itu pula, menurut Sahetapy, undang-undang ini memberi kesempatan warga negara asing yang menjadi suami atau istri dari warga negara Indonesia, untuk menjadi warga negara Indonesia, sebagaimana warga negara asing itu juga berhak mendapat status permanent residence tanpa harus kehilangan kewarganegaraannya.

Undang-undang ini juga mengatur masalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, dengan memberikan perlindungan dan jaminan kepastian kewarganegaraan kepada anak tersebut. Meskipun demikian hal tersebut tidak bermaksud untuk melegalkan praktik hubungan suami istri di luar perkawinan yang sah.

Sahetapy juga berpendapat, meskipun Undang-undang tentang Kewarganegaraan dapat diterima oleh semua pihak, terdapat beberapa catatan mengenainya. Misalnya ketentuan sebagaimana tercantum dalam pasal 23 i dan pasal 26 ayat (1) yang dianggap tidak memberikan perlindungan kepada warga negara. Pasal 23 i yang menyebutkan bahwa seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan karena berada di negara lain dalam jangka waktu lima tahun berturut-turut, dapat menyulitkan warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang dalam keadaan tidak mampu mengurus pelaporan kewarganegaraannya.

Untuk mengatasi hal itu, Sahetapy menyarankan agar pemerintah bersikap pro aktif mengingatkan kepada warga negara Indonesia yang tersebar di seluruh dunia agar rutin melapor kepada kantor perwakilian pemerintah. pemerintah pun perlu memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses pelaporan itu. Kemudian pasal 26 ayat (1) yang seharusnya tidak mencabut kewarganegaraan seseorang dengan alasan apapun kecuali hal tersebut secara tegas dinyatakan orang yang bersangkutan,katanya.

Harapan akan adanya persamaan hak sebagai warga negara tanpa diskriminasi dengan disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Kewarganegaraan ini jangan sampai terputus di tingkat praktik, terutama di tingkat peraturan pelaksanaannya. Mengenai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Kewarganegaraan tersebut, maka pemerintah diberikan waktu 6 bulan untuk menerbitkan peraturan pemerintah (PP), dan 3 bulan untuk mengeluarkan peraturan menteri (Permen). PP dan Permen ini sebagai aturan teknis dari undang-undang tersebut.

 

 



 

PENULIS ARTIKEL;

DEWINTA MUTIA ANINDI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar