Senin, 05 November 2018

02181310201

Latar Belakang Dibuatnya Surat Perintah Sebelas Maret Oleh Presiden Soekarno

 

DESKRIPSI
  Tujuan saya membuat artikel ini karena saya ingin membahas dan mendalami peristiwa Supersemar yang berkaitan pada kondisi Indonesia pada Era tahun 1965 dimana terdapat banyak masalah berat yang melanda dari berbagai bidang yang bersifat vital bagi Bangsa Indonesia. Pada bidang politik, sistem pemerintahan demokrasi terpimpin yang diterapkan Ir.Sukarno seperti membuat suatu pemerintahan yang otoriter di Indonesia. Selain itu, bung karno membuat konsep NASAKOM yang berarti ialah Nasionalis Agama dan Komunis. Kebijakan itulah yang akhirnya membawa perpecahan karena dalam nasionalis, agama dan komunis terdapat perbedaan-perbedaan yang bisa memicu konflik di kemudian hari. Sistem pemerintahan demokrasi terpimpin juga menyebabkan pihak yang bisa mempunyai posisi kuat di pemerintahan bisa mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Pada bidang militer, dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang membuat anggota ABRI bisa menduduki jabatan di bidang politik dan pemerintahan membuat peran ABRI menjadi tidak lazim karena tentara tujuan sebenarnya dibentuk untuk keperluan pertahanan negara.Selain itu, konfrontasi Indonesia - Malaysia yang terjadi pada masa itu membuat pro dan kontra pada pemerintah dari sejumlah tokoh militer, dan pada bidang ekonomi Indonesia mengalami inflasi yang mencapai presentase 650% membuat harga-harga bahan-bahan pokok melambung tinggi sebagai akibat dari berbagai faktor yang diantaranya kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji tentara.

Akhirnya klimaks dari berbagai masalah diatas terjadi pada akhir tahun 1965 yaitu sebuah peristiwa kontroversial yang melibatkan Partai Komunis Indonesia bernama Gerakan 30 September dan Gerakan Satu Oktober yang lebih dikenal dengan G 30 S/PKI. Hal itu,membuat Indonesia kacau balau karena terjadi pembunuhan para jendral-jendral penting Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sehingga akhirnya ABRI dibawah Jendral Suharto dan Kolonel Sarwo Edhie dari KOSTRAD berhasil menghentikanya. Setelah peristiwa itu, maka terjadilah reaksi dari masyarakat berupa Tritura yang berisi Tiga Tuntutan Rakyat pada Pemerintah Republik Indonesia. Untuk menjaga kestabilan dari Republik Indonesia maka dikeluarkanlah Surat Perintah pada tanggal 11 Maret 1966 atau lebih dikenal dengan SUPERSEMAR.



PENDAHULUAN

    Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.



PEMBAHASAN
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.

Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).

Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu menendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.

Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai surat Supersemar itu tiba.

 

Beberapa Kontroversi tentang Supersemar

· Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini khan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan dimana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.

· Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. "Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati," ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.

· Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.

· Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.

· Versi Resmi:

Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Soeharto mampu menendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

· Kesaksian Lettu Sukardjo Wilardjito(pengawal kepresidenan Istana Bogor):
Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat, dan Brigjen M.Panggabean pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 datang ke Istana Bogor. Ia menuturkan adanya penodongkan pistol ke arah Soekarno yang dimaksudkan untuk memaksa agar Presiden menandatangani sebuah surat. Lalu Sukardjo membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan.

M. Jusuf , M.Panggabean, dan A.M. Hanafi membantah peristiwa itu.

· Kesaksian A.M. Hanafi (mantan dubes Indonesia untuk Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto) :
Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi sendiri hadir pada sidang itu bersama Waperdam Chaerul Saleh. M.Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir. Namun ia sependapat dengan versi resmi yaitu bahwa ketiga jendral itulah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Ketiga jendral ini datang baik-baik dengan membawa sebuah teks. Di luar, istana sudah dikelilingi oleh banyak demonstrasi dan tank. Karena keadaan tersebut, Soekarno akhirnya menandatangani teks Supersemar itu.

· Keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah asli Supersemar ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.

Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar, terutama menyangkut

tiga hal, masih belum menemukan titik terang.

Ketiga hal itu adalah pertama, mengenai teks. Kedua, terkait proses mendapatkan
surat itu. Ketiga, mengenai interpretasi isi perintah itu.

Naskah asli Supersemar sendiri hingga sekarang belum ditemukan. Keluarnya surat itu tidak bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya. Presiden Soekarno memiliki penafsiran berbeda dengan kelompok Soeharto.

Dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia terdiri dari beberapa versi. Namun, sebenarnya perbedaan antarnaskah, misalnya mengenai tempat penandatanganan—apakah Jakarta atau Bogor—tidak mengubah substansinya. Demikian pula jumlah halaman surat perintah itu—satu atau dua halaman—itu hanya soal teknis.

Sudharmono mengatakan, surat itu digandakan atau difotokopi. Namun, ternyata hal itu dibantah Moerdiono yang menegaskan, surat itu dironeo (distensil).

Tampaknya awal tahun 1966 belum ada mesin fotokopi di Ibu Kota. Dengan demikian, surat itu distensil. Jika itu yang terjadi, berarti naskah diketik ulang. Maka tidak aneh jika terdapat berbagai perbedaan. Bahkan, logo burung Garudanya terlihat seperti digambar dengan tangan.

Ketika biografi Jenderal Jusuf diterbitkan setelah ia meninggal, masyarakat berharap menemukan titik terang. Ternyata Supersemar yang dilampirkan bukanlah yang asli, paling tidak demikian menurut Kepala Arsip Nasional, karena logo yang digunakan Garuda Pancasila, padahal lambang kepresidenan adalah padi kapas.

Minimal kita berharap, draf pertama surat itu, draf kedua yang sudah ditulisi komentar Soebandrio beserta tembusan ketiga dari teks asli (yang tidak ditandatangani Presiden) yang semuanya dimiliki Jenderal Jusuf dapat diserahkan kepada pemerintah.

Di bawah tekanan

Aspek kedua yaitu proses memperoleh surat itu perlu dijelaskan kepada masyarakat, terutama kepada para siswa. Surat itu diberikan bukan atas kemauan atau prakarsa Presiden Soekarno. Surat itu diberikan di bawah tekanan, seperti terlihat dari rangkaian peristiwa berikut ini.

Tanggal 9 Maret 1966 malam, Hasjim Ning dan M Dasaad, dua pengusaha yang dekat dengan Bung Karno, diminta Asisten VII Men/Pangad Mayjen Alamsjah Ratu Perwiranegara untuk membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Pada malam itu juga, keduanya mendapat surat perintah yang ditandatangani sendiri oleh Men/Pangad Letjen Soeharto yang menyatakan bahwa mereka adalah penghubung antara Presiden Soekarno dan Men/Pangad.

Hasjim Ning dan M Dasaad berhasil bertemu dengan Presiden Soekarno pada 10 Maret 1966 di Istana Bogor. Hasjim Ning menyampaikan pesan tersebut. Bung Karno menolak. Dengan amarah, Bung Karno berkata, "Kamu juga sudah pro-Soeharto!"

Dari sini terlihat bahwa usaha membujuk Soekarno telah dilakukan, lalu diikuti dengan mengirim tiga jenderal ke Istana Bogor. Pagi 11 Maret 1966 dilangsungkan sidang kabinet di Istana yang dikepung oleh demonstrasi mahasiswa besar-besaran serta didukung pasukan tertentu. Hal itu mengagetkan Presiden yang memutuskan untuk menyingkir ke Istana Bogor.

Brigjen Kemal Idris saat itu mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad dan RPKAD untuk mengepung Istana. Tujuan utamanya adalah menangkap Soebandrio yang berlindung di kompleks Istana. Memang pasukan-pasukan itu mencopot identitas mereka sehingga tak mengherankan Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkannya sebagai "pasukan tidak dikenal" kepada Bung Karno. Letjen Soeharto sendiri tidak hadir dalam sidang kabinet dengan alasan sakit. Bila dia ada, tentu Bung Karno akan memerintahkannya untuk membubarkan demonstrasi gabungan mahasiswa-tentara itu.

Sebetulnya banyak faktor yang terjadi sebelum 11 Maret 1966 yang semuanya menjadikan semacam "tekanan" terhadap Presiden Soekarno. Dan, puncak dari tekanan itu datang dari ketiga jenderal itu. Bila tidak ada demonstrasi dari mahasiswa dan pasukan tak dikenal yang mengepung Istana, tentu peristiwa keluarnya Supersemar di Bogor tidak/belum terjadi.

 

Tafsir berlawanan

Bagi Presiden Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan Presiden dan keluarganya. Namun, sebenarnya ia "kecolongan" dengan membubuhkan frase "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu" dalam surat tersebut. Padahal, perintah dalam militer harus tegas batas-batasnya, termasuk waktu pelaksanaannya.

Menurut Bung Karno, surat itu bukanlah transfer of authority. Amir Machmud yang membawa surat itu dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.

Dengan surat itu, Soeharto mengambil aksi beruntun pada Maret 1966, membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan Tjakrabirawa (yang terdiri dari sekitar 4.000 anggota pasukan yang loyal kepada Presiden), dan mengontrol media massa di bawah Pusat Penerangan Angkatan Darat (Puspen AD). Tindakan Soeharto ini tidak lain mengakhiri dualisme kekuasaan yang telah terjadi pasca-Gerakan 30 September.

Dualisme kekuasaan itu tampak jelas dalam kasus penghentian rencana nasionalisasi perusahaan asing akhir 1965. Tanggal 15 Desember 1965, dengan naik helikopter Soeharto menuju Istana Cipanas tempat pertemuan yang dipimpin Waperdam Chaerul Saleh dengan agenda pengambilalihan Caltex. Soeharto turun dari helikopter dan berseru, "AD tidak setuju nasionalisasi Caltex". Lalu, ia langsung meninggalkan tempat dan kembali ke Jakarta. Peristiwa dramatis itu sungguh menunjukkan adanya dua pimpinan nasional saat itu karena dalam kasus ini jelas Soeharto tidak bertindak atas perintah Presiden Soekarno.

 

Perkembangan Terbaru Seputar Kontroversi Supersemar

Pengamat teknologi informasi Roy Suryo Notodiprodjo menyatakan, naskah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang selama ini beredar merupakan naskah palsu. Hal itu, kata dia, terbukti dari hasil penelitian bentuk tandatangan, cara penulisan dan spasi dalam tiga naskah Supersemar yang selama ini beredar dengan naskah yang dibawa para jenderal saat keluar dari Istana Bogor usai menghadap Presiden Sukarno.

"(Pada keempat naskah tersebut) Terlihat jelas perbedaan pada bentuk tandatangan Presiden Soekarno, tata-cara atau justifikasi penulisan, spasi atau jarak antar kalimat dan berbagai hal lainnya," katanya usai sebuah acara di Menara BTC Bandung, Sabtu (19/1).

Untuk memperkuat pernyataannya itu, Roy sempat menunjukkan empat file berisi potret salinan keempat naskah tersebut, yakni tiga file naskah Supersemar yang, menurutnya, selama ini beredar namun tidak diketahui sumber yang mengedarkannya serta satu file potret potongan naskah Supersemar yang dibawa para jenderal diambil dari film-selluloid milik Arsip Nasional Rrepublik Indonesia (ANRI).

Dari pengamatan Tempo, pada empat file naskah tersebut memang ada perbedaan cukup jelas pada pada bentuk tanda tangan Presiden Soekarno, spasi, serta kop surat yang digunakan.

"Tipikal film, resolusi foto naskah Supersemar dalam film-selluloid milik ANRI itu sama dengan tipikal film, resolusi foto Pak Amir Machmud atau Pak Harto yang dikeluarkan pada waktu itu (tahun 1966),"katanya.

Roy mengakui kecurigaan atas ketidakaslian naskah yang beredar memang bukan baru. Namun selama ini belum ada pihak yang bisa mengungkapkan kecurigaan tersebut secara ilmiah disertai bukti-bukti pendukungnya. "Ini (hasil temuannya) adalah bukti ilmiah yang tidak terbantahkan, karena sumber dan dokumennya jelas,"katanya.
Roy meyakini, naskah Supersemar yang asli adalah naskah yang dibawa para jenderal seperti tampak dalam film-selluloid milik ANRI. "Nah naskah yang sempat ter-shoot dan terdapat dalam film-selluloid milik ANRI inilah yang seharusnya dicari, bukan naskah Super-lainnya, SuperBagong, Gareng atau Petruk, yang kemudian "dipaksakan" menjadi Supersemar," katanya.

Masalahnya, kata Roy Suryo, di mana naskah asli Supersemar sekarang? "Mungkin hanya "Sang Semar" yang kini sedang terbaring sakit-lah satu-satunya yang mengetahui," katanya.

Sampai meninggal pada Minggu, 27 Januari 2008, mantan presiden Soeharto masih meninggalkan kontroversi. Selain masalah status hukum atas dugaan korupsi, yang belum tuntas hingga di bawa mati banyak alur sejarah yang ditorehkan orde baru masih belum jelas.

Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.

Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, lembaga ini berkali-kali meminta kepada Jendral (purn) M. Jusuf saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha Arsip Nasional itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada tanggal27 Januari 2008 membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.



PENUTUP

    Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang disingkat menjadi Supersemar sebenarnya adalah surat kuasa dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Suharto untuk mengamankan dan memulihkan keamanan negara Indonesia setelah terjadi pemberontakan oleh Gerakan 30 September 1965/PKI namun karena kesalahan penafsiran dalam menyikapi Supermar maka terjadi perbedaan pendapat yang menimbulkan kontroversi dikemudian hari.

Perbedaan penafsiran berpangkal dari kalimat dalam Supersemar yang berbunyi "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu".Padahal,perintah untuk militer harus tegas batas-batasnya,termasuk waktu pelaksanaanya.

Hendaknya dalam pengambilan keputusan untuk mengeluarkan surat kuasa harus menelitinya lebih lanjut agar tidak terjadi salah penafsiran


DAFTAR PUSTAKA

Id.Wikipedia.org

www.pikiran-rakyat.com

http://indonesiakemarin.blogspot.com/2007/03/super-semar-surat-perintah-sebelas.html

http://www.tempointeraktif.com/

http://id.shvoong.com/books/1755221-supersemar-kudeta-suharto/

http://poenjagw.blogspot.com/2009/05/supersemar.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar