Identitas Film
Nyai Ahmad Dahlan
Jenis Film : Drama
Produser : Dyah Kalsitorini, Widyastuti
Sutradara : Olla Ata Adonara
Penulis : Dyah Kalsitorini
Produksi : Iras Film
Durasi :102 menit
Pemain : Egy Fedly, Rara Nawangsih, Inne Azri, Malvino Fajaro, Silsila Suwandi, Tika Bravani, David Chalik, Cok Simbara, Della Puspita
Sinopsis :
Nyai Ahmad Dahlan adalah film biopik yang mengisahkan tentang kehidupan Siti Walidah, isteri dari KH Ahmad Dahlan. Siti lahir dari Kampung Kauman, Yogyakarta. Dia wanita biasa dengan pergaulan yang terbatas dan tidak mendapatkan pendidikan formal. Dia adalah putri dari seorang Kyai dan anggota Kesultanan Yogyakarta. Dia mendapatkan pendidikan agama Islam di rumah
Ringkasan Film :
Dahlan, dan menjadi Nyai Ahmad Dahlan. Kyai Ahmad Dahlan adalah sosok lelaki yang sangat berfikiran maju dan mendukung istrinya untuk bersama membangun bangsa. Nyai Ahmad Dahlan dengan segala kecerdasannya ikut membesarkan Muhammadiyah mendampingi Kyai Ahmad Dahlan. Nyai Ahmad Dahlan mempunyai pandangan yang sangat luas. Hal itu diperoleh karena pergaulannya dengan para tokoh, baik tokoh-tokoh Muhammadiyah maupun tokoh pemimpin bangsa lainnya, yang kebanyakan adalah teman seperjuangan suaminya. Mereka antara lain adalah Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Kyai Haji Mas Mansyur, dan lainnya.
Setelah Muhammadiyah berdiri, Nyai Ahmad Dahlan turut merintis kelompok pengajian demi pengajian untuk memberi ilmu agama pada semua wanita-wanita hingga berdiri organisasi "Aisyiyah". Tak gampang membesarkan organisasi wanita pada zaman itu. Nyai Dahlan dan pengurus Aisyiyah berjuang memajukan perempuan yang bermanfaat untuk keluarga, bangsa dan negara. Menurut Nyai Ahmad Dahlan wanita sepadan perannya dengan laki-laki namun tidak boleh melupakan fitrahnya sebagai perempuan. Saat Jepang masuk ke Indonesia, beliau menentang penjajah Jepang dengan melarang warga menyembah dewa Matahari dan mendirikan dapur umum bagi para pejuang. Kehidupan Nyai bersama Kyai Ahmad Dahlan yang saling mendukung dalam membangun bangsa tergambar sangat indah. Bahwa cinta adalah landasan dalam menjalani hidup dan perjuangan.
Film dibuka pada setting tahun 1890 yang saat itu Siti Walidah berusia masih bocah 12 tahun. Walaupun perempuan, ia termasuk anak yang beruntung dalam mengenyam pendidikan. Ayahnya Kyai Haji Muhammad Fadli (Cok Simbara), seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta yang mengajarkan mengaji serta pengetahuan umum lainnya dengan tidak membedakan murid laki-laki dan perempuan. Semua berhak mendapatkan pelajaran tanpa ada perbedaan jender, karena itu adalah perintah agama.
Pada masa itu budaya patriaki begitu kuat. Perempuan hanya sekadar konco wingking (teman di belakang) yang berurusan dengan dapur, sumur, dan kasur. Kaum lelaki tidak mau direbut posisinya yang begitu mapan, maka dari itu suatu hal yang wajar bahwa anak perempuan tidaklah penting menjadi pintar. Walidah dibesarkan dalam lingkungan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Ia termasuk anak yang cerdas dan penghafal Alquran.
Kekurangan dan Kelebihan :
Kekurangan :
alur sepanjang ceritanya yang terlalu datar & membosankan. Padahal ada banyak adegan-adegan konflik atau cerita-cerita yang apabila lebih di eksploitaisi lagi bisa menjadi jalan cerita yang menarik. Seperti saat adegan penolakan warga terhadap ajaran Muhammadiyah atau saat ada tentara jepang yag ingin menjajah dan menyuruh warga untuk menyembah matahari, semua persoalan dan konflik itu hanya diselesaikan singkat saja dengan inti klimaks yang sedikit memaksa.
Penokohan-penokohannya juga terlalu fokus cuma ke Nyai & Ahmad Dahlannya saja sehingga karakter pendukung yang lain seperti Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Kyai Haji Mas Mansyur, dan lainnya terabaikan & terlupakan. Padahal ada banyak juga beberapa karakter pendukung yang kalau di eksploitasi lagi bakal menjadi karakter yang menarik & diingat, kayak si mbah yang mau belajar membaca, menulis, ngaji.
Kelebihan :
Film ini mengisahkan bagaimana perjuangan dalam pendirian organisasi Muhammadiyah & Aisyiyah, dikisahkan juga bagaimana ketaatan sebagai peran seorang istri terhadap suami & keluarga. Inti filmnya ini sebenarnya ingin memberikan pesan bahwa Perempuan itu harus sepadan perannya dengan laki-laki tapi tidak juga melupakan fitrahnya sebagai perempuan.
Cerita kehidupan Nyai dgn Ahmad Dahlan yang saling mendukung satu sama lain untuk membangun bangsa digambarkan juga romantis sampai membuat kesan bahwa cinta adalah landasan dalam menjalani hidup & perjuangan
Kesimpulan :
From: Erja Tri Soleha <solehatri94@gmail.com>
Date: Min, 4 Nov 2018 17.31
Subject:
To: Erja Tri Soleha <solehatri94@gmail.com>
Identitas Film
Jenis Film : Drama
Produser : Dyah Kalsitorini, Widyastuti
Sutradara : Olla Ata Adonara
Penulis : Dyah Kalsitorini
Produksi : Iras Film
Durasi :102 menit
Pemain : Egy Fedly, Rara Nawangsih, Inne Azri, Malvino Fajaro, Silsila Suwandi, Tika Bravani, David Chalik, Cok Simbara, Della Puspita
Sinopsis :
Nyai Ahmad Dahlan adalah film biopik yang mengisahkan tentang kehidupan Siti Walidah, isteri dari KH Ahmad Dahlan. Siti lahir dari Kampung Kauman, Yogyakarta. Dia wanita biasa dengan pergaulan yang terbatas dan tidak mendapatkan pendidikan formal. Dia adalah putri dari seorang Kyai dan anggota Kesultanan Yogyakarta. Dia mendapatkan pendidikan agama Islam di rumah
Ringkasan Film :
Dahlan, dan menjadi Nyai Ahmad Dahlan. Kyai Ahmad Dahlan adalah sosok lelaki yang sangat berfikiran maju dan mendukung istrinya untuk bersama membangun bangsa. Nyai Ahmad Dahlan dengan segala kecerdasannya ikut membesarkan Muhammadiyah mendampingi Kyai Ahmad Dahlan. Nyai Ahmad Dahlan mempunyai pandangan yang sangat luas. Hal itu diperoleh karena pergaulannya dengan para tokoh, baik tokoh-tokoh Muhammadiyah maupun tokoh pemimpin bangsa lainnya, yang kebanyakan adalah teman seperjuangan suaminya. Mereka antara lain adalah Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Kyai Haji Mas Mansyur, dan lainnya.
Setelah Muhammadiyah berdiri, Nyai Ahmad Dahlan turut merintis kelompok pengajian demi pengajian untuk memberi ilmu agama pada semua wanita-wanita hingga berdiri organisasi "Aisyiyah". Tak gampang membesarkan organisasi wanita pada zaman itu. Nyai Dahlan dan pengurus Aisyiyah berjuang memajukan perempuan yang bermanfaat untuk keluarga, bangsa dan negara. Menurut Nyai Ahmad Dahlan wanita sepadan perannya dengan laki-laki namun tidak boleh melupakan fitrahnya sebagai perempuan. Saat Jepang masuk ke Indonesia, beliau menentang penjajah Jepang dengan melarang warga menyembah dewa Matahari dan mendirikan dapur umum bagi para pejuang. Kehidupan Nyai bersama Kyai Ahmad Dahlan yang saling mendukung dalam membangun bangsa tergambar sangat indah. Bahwa cinta adalah landasan dalam menjalani hidup dan perjuangan.
Film dibuka pada setting tahun 1890 yang saat itu Siti Walidah berusia masih bocah 12 tahun. Walaupun perempuan, ia termasuk anak yang beruntung dalam mengenyam pendidikan. Ayahnya Kyai Haji Muhammad Fadli (Cok Simbara), seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta yang mengajarkan mengaji serta pengetahuan umum lainnya dengan tidak membedakan murid laki-laki dan perempuan. Semua berhak mendapatkan pelajaran tanpa ada perbedaan jender, karena itu adalah perintah agama.
Pada masa itu budaya patriaki begitu kuat. Perempuan hanya sekadar konco wingking (teman di belakang) yang berurusan dengan dapur, sumur, dan kasur. Kaum lelaki tidak mau direbut posisinya yang begitu mapan, maka dari itu suatu hal yang wajar bahwa anak perempuan tidaklah penting menjadi pintar. Walidah dibesarkan dalam lingkungan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Ia termasuk anak yang cerdas dan penghafal Alquran.
Kekurangan dan Kelebihan :
Kekurangan :
alur sepanjang ceritanya yang terlalu datar & membosankan. Padahal ada banyak adegan-adegan konflik atau cerita-cerita yang apabila lebih di eksploitaisi lagi bisa menjadi jalan cerita yang menarik. Seperti saat adegan penolakan warga terhadap ajaran Muhammadiyah atau saat ada tentara jepang yag ingin menjajah dan menyuruh warga untuk menyembah matahari, semua persoalan dan konflik itu hanya diselesaikan singkat saja dengan inti klimaks yang sedikit memaksa.
Penokohan-penokohannya juga terlalu fokus cuma ke Nyai & Ahmad Dahlannya saja sehingga karakter pendukung yang lain seperti Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Kyai Haji Mas Mansyur, dan lainnya terabaikan & terlupakan. Padahal ada banyak juga beberapa karakter pendukung yang kalau di eksploitasi lagi bakal menjadi karakter yang menarik & diingat, kayak si mbah yang mau belajar membaca, menulis, ngaji.
Kelebihan :
Film ini mengisahkan bagaimana perjuangan dalam pendirian organisasi Muhammadiyah & Aisyiyah, dikisahkan juga bagaimana ketaatan sebagai peran seorang istri terhadap suami & keluarga. Inti filmnya ini sebenarnya ingin memberikan pesan bahwa Perempuan itu harus sepadan perannya dengan laki-laki tapi tidak juga melupakan fitrahnya sebagai perempuan.
Cerita kehidupan Nyai dgn Ahmad Dahlan yang saling mendukung satu sama lain untuk membangun bangsa digambarkan juga romantis sampai membuat kesan bahwa cinta adalah landasan dalam menjalani hidup & perjuangan
Kesimpulan :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar