Selasa, 28 Maret 2017

(161310132) FENOMENA BLUSUKAN

Pencitraan atau Empati?


Belakangan terakhir fenomena pemimpin 'blusukan' menghampiri dunia perpolitikan Indonesia. Blusukan yang diartikan sebagai proses pemimpin mengunjungi rakyat dengan masuk ke kampung-kampung menjadi gaya klasik yang ditampilkan kembali dalam bungkus modernitas. Tidak heran, banyak pemimpin yang awalnya kontra dengan gaya kepemimpinan ini sekarang sibuk mengikutinya. Ketika Pilkada akan bergulir, sudah hal biasa kita melihat para calon pemimpin tiba-tiba turun ke lapangan, turun ke pasar, turun ke pemukiman kumuh, turun ke tempat-tempat yang mudah untuk menarik simpati rakyat. Pada saat itu juga kebiasaan para calon kepala daerah berubah, ada yang tiba-tiba makan gorengan yang dijalanan, ada yang tiba-tiba masuk kepasar dengan usaha tak sungkan untuk berinteraksi dengan warga, ada yang terlihat mendengarkan aspirasi secara langsung, dan lain-lain

Semuanya dilakukan begitu namanya menjadi kandidat calon pasangan kepala daerah, apalagi ketika sudah didaftarkan dan diterima KPUD daerah yang bersangkutan. Entah apa yang membuat fenomena ini nyata dan pasti terjadi. Semuanya terjadi secara tiba-tiba. Pilkada mengubah kebiasaan pasangan calon, dari yang biasanya makan di restoran mewah, kantor ber AC, kini tiba-tiba saja makan di warteg, makan di pinggiran jalan. Biasanya rapat diruangan terututup, ber AC, nyaman, kini rapat bersama rakyat kecil di bantaran kali, perkampungan kumuh, di jalan raya, dan lain-lain.

Konsistensi yang dilakukan Jokowi dengan kata blusukan membuat siapapun yang melihatnya memberikan simpati. Metode ini memang efektif , sehingga rakyat bukan hanya simpati, tetapi mau berempati sehingga mau memberikan kerjasama kepada pemerintah untuk perubahan dalam bidang tertentu. Sudah banyak contoh-contoh fenomena blusukan untuk menarik simpati dari masyarakat untuk memilih atau mendukung para calon-calon pemimpin. Hal ini menjadi pacuan para calon pemimpin baru berloma-lomba untuk menyampaikan visi misi serta janji untuk kesejahteraan rakyat.

Tetapi , diantara mereka, sayangnya tidak ada yang mampu melakukan program blusukan benar-benar seperti Jokowi. Program itu seakan tidak melekat karena dilakukan tidak konsisten, dilakukan hanya pada saat pilkada saja.  Sebagian masyarakat memiliki pandangan yang kontra dengan fenomena ini mereka berpendapat bahwa fenomena ini hanya untuk pencintraan saja. Pasalnya, blusukan yang dilakuakan para calon ini tidaklah konsisten, melakukan blusukan hanya ketika pencalonan saja sehingga banyak pertanyaan yang muncul dibenak masyarakat. Blusukan pasangan calon pemimpin ini dikhwatirkan hanya semata-mata mengambil simpati rakyat saja, ingin meningkatkan popularitas dengan berjabat tangan langsung dengan rakyat. Salah satu cara terbaik untuk meningkatkan citra dimata masyarakat adalah dengan blusukan dengan melakukan pencitraan dimana-mana, seperti datang secara langsung ke pemukiman penduduk, menjanjikan untuk melegalisasi sesuatu yang ilegal, dan segala cara untuk mendongkrat popularitas dan elektabilitas.

Sayangnya, usaha seperti ini tergolong tidak baik karena motifnya saja hanya untuk pencitraan sehingga sudah tentu hasilnya juga tidak baik. Usaha yang tiba-tiba tidak akan menghasilkan sesuatu secara maksimal. Begitu nanti duduk di kursi pimpinan, rakyat menjadi terabaikan. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa blusukan hanya untuk pencitraan saja. Masih banyak sisi positif dari blusukan ini. Tak perlu menjadi seorang Jokowi jika memang jati diri tidak mengizinkan untuk blusukan secara tulus dan iklas. rakyat juga sudah tahu betul mana pemimpin yang benar-benar ingin mendapatkan aspirasi rakyat dan mana pemimpin yang hanya mendengarkan rakyat ketika akan pilkada saja. Rakyat sudah cerdas, semoga saja blusukan bukan hanya untuk kepentingan citra diri dan mendapatkan simpati rakyat yang mau merasa simpati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar